Jumat, 29 Juli 2011

Yang Sangat Cantik..



Kalau di Bollywood mungkin kata mereka, Aishwarya Rai yang tercantik, atau di Hollywood, Megan FoX adalah cantik pada pandangan mereka dan mungkin juga di Malaysia, Fasha Sandha yang tercantik.


Siapa sepertinya yang bisa memberi definisi dan ciri-ciri tepat tentang apa yang dikatakan sebagai 'cantik'?
Cantik adalah sesuatu yang sangat subjektif. Setiap orang mempunyai definisi kecantikan masing-masing.

Mungkin bagi saya, cantik adalah begitu dan begini, tapi bagi kamu, lain pula.
Kadang kala, cantik juga didefinisikan mengikuti tempat, kaum dan budaya.

Kalau di barat sekarang, the thinner the better, tapi berbeda pula di Mauritania, Africa, the bigger the better.

Perlukah jadi cantik?
Di Mexico, kaum wanita menghabiskan separuh dari gaji mereka untuk kecantikan seperti ke salon, malah ada pula yang memakai pembayaran secara ansuran untuk pembedahan plastik.

Bayangkan betapa ingin  wanita-wanita itui mau kelihatan cantik.
Betapa pentingnya menjadi cantik pada seorang wanita itu.

Macam-macam sanggup dikorbankan, Uang, masa, Sakit yang perlu ditanggung demi cantik,
bahkan, hukum agama pun sanggup dilanggar demi cantik.

Tidak tahukah mereka kalau perbuatan mereka dilarang oleh agama, demi terlihat cantik mereka melakukan Plastic surgery, Botox, liposuction, gastric bypass dan banyak lagi yang lain demi makin cantik.

Allah suka akan kecantikan, tetapi bukan lah dengan mengubah ciptaanNya.
Tambahan lagi, mereka yang ekstrem mau kelihatan cantik ini, bukanlah mau kelihatan cantik di mata Allah, tapi di mata manusia. Semuanya dilakukan agar kelihatan cantik pada manusia dan agar mendapat tempat di hati manusia.

Sebenarnya cantik bukan sekadar di wajah, tapi cantik itu dari akhlak dan keimanannya kepada sang Pencipta.
Cantik secara fisik didunia akan pudar walau coba dipertahankan, tapi akhlak itu hiasan yang kekal pada diri seorang wanita.

Wanita yang cantik akhlaknya, maka cantiklah luarannya.
Tiada guna mempunyai wajah seindah bidadari karena satu hari nanti, kita cuma akan menjadi tengkorak yang menakutkan.

Bukannya tidak perlu menjadi cantik tetapi, biarlah cantik itu karena Allah, dan Janganlah sampai melanggar larangan agama demi kelihatan cantik.

Perbaikilah akhlak dirimu, insya allah kamu akan kelihatan cantik pada pandangan Allah dan pandangan manusia.
Bersyukurlah dan berpuas hati lah dengan karunia Allah kepada kita, dan gunakan ia sebaik-baiknya hanya keranaNya.

Tiada yang lebih indah pada orang tua selain anak-anak yang soleh solehah, tiada yang lebih bahagia pada seorang suami selain seorang isteri yang solehah dan tiada yang lebih bernilai pada Allah selain hambaNya yang taat menjalankan perintahnya..

Permintaan Jiwa

Subuh masih jauh. Kokok ayam pun belum terdengar, namun Fikri sudah menajamkan matanya, di atas sajadah ia bersimpuh. Tangannya menengadah jauh ke langit, seperti meminta sesuatu yang sangat ia butuhkan. Pandangannya nanar oleh karena matanya berkaca-kaca. Mulutnya terus mengucap doa kepada Tuhannya. Berharap sebuah petunjuk dari istikharah yang senantiasa ia lakukan beberapa hari terakhir ini.   Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mengetahui apa yang tidak kuketahui… sungguh hati ini telah pasrah pada ketentuan-Mu dan kuyakin apa yang terjadi padaku adalah atas kehendak-Mu. Atas apa yang saat ini kualami, tiada yang dapat kulakukan selain bertanya kepada-Mu bagaimana baiknya keputusan yang kuambil. Ya Allah, jika memang kami berjodoh maka segerakanlah kami. Jika bukan, maka selamatkanlah kami dari fitnah.   Usai mengucap doa, Fikri mengusap wajahnya dengan dua telapak tangannya. Hatinya tak dapat menentukan apakah ia menerima atau tidak permintaan seorang akhwat yang kini lembaran biodatanya masih tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia masih mengingat betul wajah manis dalam foto yang disertakan dalam lembaran itu. Sepekan lalu ia didatangi dua orang akhwat di teras masjid. Dengan begitu sopan, dua akhwat tadi menyampaikan misinya, yakni pesan dari temannya untuk minta dinikahi oleh Fikri. Lugas, namun suatu keanehan bagi lelaki yang baru menginjak usia 23 itu.   “Sahabat kami, sudah lama menyimpan niatan ini. Baru kali ini sempat tersampaikan, itu pun setelah mendapat banyak masukan dari orang-orang terdekatnya. Insya Allah, sahabat kami ini orangnya solehah. Biodata lengkapnya bisa dilihat di sini.” Ujar salah seorang dari akhwat itu seraya menyerahkan amplop coklat seperti amplop untuk melamar kerja. “Jika ada yang belum jelas, silakan langsung hubungi beliau. Ada nomor kontaknya di situ.” Sambung yang satunya sambil menunjuk amplop tersebut.   Fikri tak dapat berkata-kata, berfikir pun tak mampu. Ini baru pertama kalinya ada gadis yang minta dinikahi. Terbayang kisah cinta Rasulullah dengan Ibunda Khadijah, yang diawali dengan permintaan Ibunda untuk dinikahi Rasulullah. Bagaimanapun, ini pengalaman yang membuat tulang lututnya serasa lepas. Ia begitu lemas…   Ketika dua akhwat itu pergi dengan salam yang tegas namun lembut, Fikri masih tak dapat memijak bumi. Ia berada di luar kesadarannya, dan ingin segera menyentuh air wudhu untuk menenangkan rasa bingungnya. Tangannya basah karena berkeringat dingin, sehingga sebagian amplop itu turut basah pula.   Sesampainya di asrama pesantren, barulah ia berani membuka amplop itu setelah selesai sholat Isya. Hal itu ia sesali karena akibatnya adalah ia tak dapat tidur, pikirannya jadi terbayang sosok manis dalam foto itu, ditambah informasi dalam biodata tersebut yang aduhai menunjukkan bahwa gadis yang minta dinikahi itu bukanlah akhwat sembarangan. Untuk menerimanya, Fikri malu, apakah ia pantas menjadi pendamping hidup akhwat itu? Namun untuk menolaknya pun, ia tak bisa tergesa-gesa.   Salah satu hal yang membuatnya ragu dan banyak menimbang adalah kondisi keluarganya di Semarang. Masih ada dua orang adiknya yang masih sekolah, sedangkan orangtuanya bukan termasuk keluarga berada dan mengharap-harap Fikri sebagai anak ketiganya itu sukses. Bisa kuliah sampai ke luar negeri, bisa bekerja enak, hidup mapan dan tidak kesusahan seperti orangtuanya. Terbukti doa mereka mampu membuat Fikri masih bisa belajar sampai S1 dengan bantuan beasiswa.   Hal lain yang juga amat berat baginya adalah, ia sedang mendaftar untuk mendapat beasiswa ke Madinah. Ia ingin bisa belajar agama di sana, agar suasananya bisa terasa dekat dengan Rasulullah. Tak terhitung banyaknya doa yang ia panjatkan untuk mendapat beasiswa itu.   Gundahnya terasa menggunung saat membaca pesan dalam lembar bioadata akhwat bernama Sabila itu. Ana tunggu keputusan Akhy paling lama dua pekan setelah Akhy menerima biodata ana. Jazakallahu khairan. Sabila. Nama akhwat pemberani itu. Di kampus, termasuk mahasiswa yang aktif di kegiatan kemuslimahan, namun Fikri tak pernah melihatnya. Orangtuanya berada di Magelang dan memiliki sebuah pesantren yang cukup terkenal. Dia bungsu dari sepuluh bersaudara. Kuliah di Jogja mengambil jurusan kedokteran umum. Cita-citanya adalah membuat sebuah klinik gratis di desa terpencil entah di mana, atau pergi ke Palestina atau daerah konflik lainnya untuk menyumbangkan keahliannya dalam hal medis. Ia pun amat menyukai dunia jurnalistik. Satu hal lagi yang membuat Fikri semakin berdebar ketika membacanya, adalah Sabila sudah mengenal Fikri sejak pertama kali masuk kuliah. Bagaimana bisa?   Itu yang ingin Fikri ketahui. Maka dengan keberanian yang ia kumpulkan dari banyak doanya berhari-hari, ia mantapkan diri untuk bertanya melalui telepon.   “Ukhti….Sabila?” “Na’am, siapa ini?” “Ukhti, ini…Fikri…Hm…” tak dapat ia menyembunyikan getar-getar kegugupan dalam hatinya. Mendengar suara tegas Sabila justru membuat tangannya lemas seakan ponsel yang dipegangnya hendak terlepas. “Oh, iya Akhi..ada apa?”   Deg. Ada apa katanya? Seakan tak ada sesuatu yang pernah terjadi pada mereka. Sempat pula timbul persangkaan, mungkin saja dua orang akhwat yang datang tempo hari itu hanya mengerjainya? Tapi akhwat seperti itu apakah begitu usilnya?   “Halo…?” suara imut namun tegas itu menyadarkan Fikri. “Ermh…begini Ukhti…” Fikri hampir lupa pada apa yang akan ia katakan. Ini baru pertama kalinya ia berhubungan dengan akhwat untuk maksud yang sifatnya pribadi, yakni perjalanan menuju pernikahan. “Biodata Ukhti….” Kalimatnya menggantung. “Ya, ada yang ingin ditanyakan mengenai bioadata ana?” suara itu masih juga imut dan tegas, tapi cukup membuat Fikri lega. Ia menanyakannya, artinya memang dia sudah tahu tentang hal itu dan dua temannya waktu itu tidak sedang mengerjainya. “Ada Ukhti. Ada. Apakah…Ukhti sendiri yang membuatnya?” “Tentu Akhi. Ana sendiri yang menulisnya.”   Gugup lagi. “Anu…anu lho Mbak’e, eh Ukhti…duh piye tho iki?” diam sejenak. Dalam hati terus mengucap istighfar. “Afwan Mbak, apa Mbak Sabila serius? Masalahe kok Mbak milih kulo? Terus gimana caranya Anti bisa kenal saya?” Di seberang telepon, sebenarnya Sabila tersenyum. Ia geli mendengar kata-kata Fikri yang bahasanya campur aduk. Kadang memanggil Mbak, Ukhti, Anti. Kadang pakai bahasa Indonesia yang baku, kadang justru pakai bahasa Jawa. Tampak benar kegugupan dalam nada bicaranya.   “Begini Akhi. Ana sering melihat Antum mengisi kajian di kampus. Baik kajian bahasa Arab, atau kajian keislaman lainnya. Menurut Ana, tak semua mahasiswa bisa begitu. Kemudian Ana mencari informasi tentang Antum, Insya Allah shohih, dari guru ngaji Antum. Dari beliau, Ana mengetahui kepribadian Antum, insya Allah sholih.” “Maksud Mbak Ukhti…guru ngaji ana…Mas Bahri?” “Beliau mahram ana. Saudara sepersusuan.”   Terlalu tak dapat mencerna dengan sempurna, Fikri langsung mematikan ponselnya tanpa mengucap salam. Ia amat gugup sehingga ia baru sadar ketika ia menempelkan lagi ponsel di telinganya lalu berbicara lagi.   “Mbak Ukhti….” Tak ada jawaban, Fikri malu sendiri karena ponselnya sudah tak lagi tersambung dengan Sabila. Ia cengengesan sendiri. Teringat sebuah pertanyaan yang harus ia temukan jawabnya. Ia kirim pertanyaan itu lewat pesan pendek. Ukhti serius dengan ana? Sedangkan ana bukan dari keluarga terpandang, ana hanya anak perantauan yang miskin bahkan sekolah pun dari beasiswa. Apa Ukhti siap menjalani hidup dengan getir?   Beberapa menit menanti jawaban, akhirnya ponselnya berbunyi. Sebuah pesan pendek tertera dari sebuah nomor baru. Rizki itu minallah Akhi. Bukan karena menikah atau tidak menikah dengan Akhi maka saya kaya atau miskin. Tapi Allah yang telah mengatur rizki kita masing-masing, insya Allah takkan tertukar. Nyess…Lega hatinya, namun semakin membuatnya berat antara menerima atau menolaknya. Madinah telah lebih dulu memanggilnya. ***------*****   Istikharah ke sekiam kalinya, nyaris membuat hatinya condong kepada Sabila. Ia sering melihatnya dalam mimpi, dalam balutan busana pengantin dengan senyum merekah. Untuk memantapkan hatinya, ia pun sudah berkonsultasi dengan Mas Bahri, sang guru spiritualnya yang secara tak langsung telah menjadi perantaranya.   “Sabila kalau sudah punya keinginan, akan sulit untuk mundur lagi. Sejak mendapat info tentang antum, Sa jadi termotivasi untuk menikah dengan antum. Makanya ana usulkan agar dia berusaha sendiri, yakni dengan meminta untuk dinikahi.” “Lalu, dia langsung menerima usul itu?” “Tidak. Dia juga perempuan biasa yang punya rasa malu. Tapi ana ceritakan juga bahwa antum itu orangnya susah kalau untuk memulai, sebab sudah banyak calon yang ditawarkan tapi tampaknya kurang ngena di hati antum. Gak ngefek. Makanya, Sabila harus mengambil inisiatif, memberikan sengatan listrik biar antum melek.”   Kebingungan Fikri hampir hilang, ia berniat untuk menerima tawaran pernikahan itu namun sebuah kabar gembira menghalanginya untuk mengungkapkan niatnya kepada Sabila. Ia resmi mendapat beasiswa ke Madinah. Impiannya sejak masih Aliyah.   Istikharah penentuan, yang mengantarnya pada pecahnya tangis di malam sunyi. Hatinya merasa condong pada Sabila, tapi Madinah jauh lebih menggigilkan hatinya. Pernikahan memang salah satu impiannya, tapi bisa mencium wangi tanah Daulah Islamiyah pertama lebih menarik minatnya. Sabila memang sholehah, tapi keinginan kuatnya untuk belajar di Madinah melebihi keinginannya untuk menggenapkan separuh diennya.   “Aku bingung Mas harus bagaimana…” Mas Bahri menepuk bahu Fikri, “Sudah istikharah?” “Tak terhitung Mas. Sebenarnya ana sudah memutuskan untuk mengambil beasiswa itu, tapi ana gak enak sama Sabila…” Mas Bahri tersenyum, “Katakan saja, Sabila orang yang kuat.” ***------*********************​***-------*********   “Maaf…ana…sebenarnya…punya keinginan yang sama dengan Mbak Ukhti Sabila….tapi…ana mendapat beasiswa ke Madinah Mbak Ukhti Sabila…Afwan… Mungkin ana bukan jodoh anti… Ana akan mengenang perkenalan ini, dan sebenarnya ana ingin kita bisa menikah setelah ana selesai kuliah nanti. Tapi ana tahu itu gak mungkin, sebab Mbak Ukhti Sabila kan akhwat yang banyak dicari…jadi kalau Mbak Ukhti Sabila sudah ada yang melamar, baiknya diterima saja. Khawatir kalau menunggu ana, kelamaan…”   Sabila masih mendengar kegugupan Fikri dalam nada bicaranya, sama seperti biasa. Namun yang lebih ia dengar saat ini adalah justru degup jantungnya sendiri. Kerongkongannya mendadak kering, sulit baginya mengucapkan apapun.   “Mbak Ukhti Sabila….?” “Berapa lama?” “Nggak tahu Mbak, mungkin tiga tahun, empat tahun atau lebih, atau bahkan nggak pulang lagi karena ana pengen juga langsung mencari jalan menuju Palestina kalau bisa….” “Sudahlah. Begini saja, antum silakan berangkat. Doa ana menyertai antum. Berat memang bagi ana, tapi ana sangat mendukung keputusan antum. Bila ana berada di posisi antum, ana juga akan mengambil beasiswa itu. Karena bagi ana, ilmu itu sangat penting Akhi… Maka, jangan risaukan ana, tenanglah. Ana juga gak akan menjanjikan apapun untuk setia atau tidak, karena ana gak tahu sampai di mana jatah hidup ana. Ana juga gak tahu siapa jodoh ana sebenarnya. Tapi satu hal yang perlu antum tahu, kalau sudah pulang ke Indonesia, harap hubungi ana ya? Itu saja yang ana minta. Bisa kan?”   Kini kerongkongan Fikri yang kering. Berat namun harus ia ucapkan sebuah kata janji, “Insya Allah Mbak Ukhti Sabila….” “Kalau begitu, ma’akum najah! Assalamu’alaikum…” “Wa’alaikum salam….”   Kembali lemas, Fikri hanya terdiam menatap lambaian dedaunan di balik jendela kamarnya. Aroma Madinah telah memanggil-manggilnya. Besok ia akan pulang ke Semarang untuk pamit pada keluarganya. Tak lama lagi, ia akan terbang meninggalkan Indonesia, kampung kelahirannya, juga meninggalkan jantung hatinya yang tak menjanjikan kesetiaan namun meminta satu kepastian bahwa Fikri akan menghubunginya sekembalinya dari Madinah. Apakah itu kata lain dari: “cepatlah pulang dan segera cari aku, karena aku akan selalu menunggumu entah kapan kau datang….”   Fikri tak dapat memastikan benar atau tidaknya khayalannya itu. Ia tutup jendela ketika langit mulai jingga dan burung-burung terbang kembali ke sarang. Sebentar lagi Maghrib tiba!   3 April 2010 “Mencintaimu tanpa batas waktu….”  

Kamis, 28 Juli 2011

Berawal Dari Segelas Air Mengubahnya Menjadi Menteri

Di sebuah perusahaan pertambangan minyak di Arab Saudi, di akhir tahun40-an. Seorang pegawai rendahan, remaja lokal asli Saudi, kehausan dan bergegas mencari air untuk menyiram tenggorokannya kering. Ia begitu gembira ketika melihat air dingin yang tampak didepannya dan bersegera mengisi air dingin ke dalam gelas.


Belum sempat ia minum, tangannya terhenti oleh sebuah hardikan: “Hei, kamu tidak boleh minum air ini. Kamu cuma pekerja rendahan. Air ini hanya khusus untuk insinyur” Suara itu berasal dari mulut seorangi insinyur Amerika yang bekerja di perusahaan tersebut. Remaja itu akhirnya hanya terdiam menahan haus.

Ia tahu ia hanya anak miskin lulusan sekolah dasar. Kalaupun ada pendidikan yang dibanggakan, ia lulusan lembaga Tahfidz Quran, tapi keahlian itu tidak ada harganya di perusahaan minyak yang saat itu masih dikendalikan oleh manajemen Amerika. 
Hardikan itu selalu terngiang di kepalanya. Ia lalu bertanya-tanya: Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa segelas air saja dilarang untuk ku? Apakah karena aku pekerja rendahan, sedangkan mereka insinyur ?

Apakah kalau aku jadi insinyur aku bisa minum? Apakah aku bisa jadi insinyur seperti mereka? Pertanyaan ini selalu tengiang-ngiang dalam dirinya. Kejadian ini akhirnya menjadi momentum baginya untuk membangkitkan ”DENDAM POSITIF”
Akhirnya muncul komitmen dalam dirinya. Remaja miskin itu lalu bekerja keras siang hari dan melanjutkan sekolah malam hari. Hampir setiap hari ia kurang tidur untuk mengejar ketertinggalannya. Tidak jarang olok-olok dari teman pun diterimanya. Buah kerja kerasnya menggapai hasil. Ia akhirnya bisa lulus SMA.

Kerja kerasnya membuat perusahaan memberi kesempatan padanya untuk mendalami ilmu.
Ia dikirim ke Amerika mengambil kuliah S1 bidang teknik dan master bidang geologi.
Pemuda ini lulus dengan hasil memuaskan. Selanjutnya ia pulang kenegerinya dan bekerja sebagai insinyur.

Kini ia sudah menaklukkan dendamnya, kembali sebagai insinyur dan bisa minum air yang dulu dilarang baginya. Apakah sampai di situ saja?. Tidak, karirnya melesat terus. Ia sudah terlatih bekerja keras dan mengejar ketinggalan, dalam pekerjaan pun karirnya menyusul yang lain.

Karirnya melonjak dari kepala bagian, kepala cabang, manajer umum sampai akhirnya ia menjabat sebagai wakil direktur, sebuah jabatan tertinggi yang bisa dicapai oleh orang lokal saat itu.

Ada kejadian menarik ketika ia menjabat wakil direktur. Insinyur Amerika yang dulu pernah mengusirnya, kini justru jadi bawahannya. Suatu hari insinyur bule ini datang menghadap karena ingin minta izin libur dan berkata; “Aku ingin mengajukan izin liburan. Aku berharap Anda tidak mengaitkan kejadian air di masa lalu dengan pekerjaan resmi ini. Aku berharap Anda tidak membalas dendam, atas kekasaran dan keburukan perilakuku di masa lalu”
Apa jawab sang wakil direktur mantan pekerja rendahan ini: “Aku ingin berterimakasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam karena kau melarang aku minum saat itu. Ya dulu aku benci padamu. Tapi, setelah izin Allah, kamu lah sebab kesuksesanku hingga aku meraih sukses ini. “

Kini dendam positif lainnya sudah tertaklukkan. Lalu apakah ceritanya sampai di sini? Tidak. Akhirnya mantan pegawai rendahan ini menempati jabatan tertinggi di perusahaan tersebut. Ia menjadi Presiden Direktur pertama yang berasal dari bangsa Arab.

Tahukan Anda apa perusahaan yang dipimpinnya? Perusahaan itu adalah Aramco (Arabian American Oil Company) perusahaan minyak terbesar di dunia. Ditangannya perusahaan ini semakin membesar dan kepemilikan Arab Saudi semakin dominan. Kini perusahaaan ini menghasilkan 3.4 juta barrels (540,000,000 m3) dan mengendalikan lebih dari 100 ladang migas di Saudi Arabia dengan total cadangan 264 miliar barrels (4.20×1010 m3) minyak dan 253 triliun cadangan gas.

Atas prestasinya Ia ditunjuk Raja Arab Saudi untuk menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Mineral yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap dunia.

Tahukah kisah siapa ini? Ini adalah kisah Ali bin Ibrahim Al-Naimi yang sejak tahun 1995 sampai saat ini (2011) menjabat Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi.

Terbayangkah, hanya dengan mengembangkan hinaan menjadi dendam positif, isu air segelas di masa lalu membentuknya menjadi salah seorang penguasa minyak yang paling berpengaruh di seluruh dunia.
Itulah kekuatan ”DENDAM POSITIF”  Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain berperilaku terhadap kita. Kita tidak pernah tahu bagaimana keadaan akan menimpa kita. Tapi kita sepenuhnya punya kendali bagaimana menyikapinya.
Apakah ingin hancur karenanya? Atau bangkit dengan semangat “Dendam Positif.”

Sumber : http://www.iswandibanna.com/2011/02/berawal-dari-segelas-air-mengubahnya.html

Posting by AH

Referensi Lainnya : http://forumbisnisdanpromosi.blogspot.com/2011/07/coca-cola.html

Senin, 04 Juli 2011

Maka Nikmatilah Karena Ini Akan Berlalu

Saat di depanmu terhidang nasi sayur tahu tempe, mengapa mesti sibuk berandai-andai dapat makan ikan, daging atau ayam ala resto? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang ada tanpa berkesah, pastilah rasanya tak jauh beda. Karena enak atau tidaknya makanan lebih tergantung kepada rasa lapar dan mau tidaknya kita menerima apa yang ada. Maka nikmatilah, karena jika engkau terus mengharap makanan yang lebih enak, makanan yang ada di depanmu akan basi, padahal belum tentu besok engkau akan mendapatkan yang lebih baik daripada hari ini.

Saat engkau menemui udara pagi ini cerah, langit hari ini biru indah, mengapa sibuk mencemaskan hujan yang tak kunjung datang? Padahal kalau saja kau nikmati adanya tanpa kesah, pastilah kau dapat mengerjakan begitu banyak kegiatan dengan penuh kegembiraan. Maka nikmatilah, jangan malah resah memikirkan hujan yang tak kunjung tumpah. Karena jika kau tak menikmatinya, maka saat tiba masanya hujan menggenangi tanahmu, kau pun kan kembali resah memikirkan kapan hujan berhenti.

Percayalah, semua ini akan berlalu, maka mengapa harus memikirkan sesuatu yang tak ada, namun suatu saat pasti akan hadir jua? Sedang hal itu hanya akan membuat kita kehilangan keindahan hari ini karena mencemaskan sesuatu yang belum pasti.

Saat engkau memiliki sebuah pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, meski tak sesuai dengan yang kau inginkan, mengapa mesti kesal dan membayangkan pekerjaan ideal yang jauh dari jangkauan? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang kau miliki, tentu akan lebih mudah menjalani. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat kau dapatkan apa yang kau inginkan, ternyata tak seindah yang kau bayangkan. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat sudah kau lepaskan, kau akan menyesal, ternyata begitu banyak kebaikan yang tidak kau lihat sebelumnya. Ternyata begitu banyak keindahan yang terlewat tak kau nikmati.

Maka nikmatilah, dan jangan habiskan waktumu dengan mengeluh dan menginginkan yang tidak ada. Maka nikmatilah, karena suatu saat, semua ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, jangan sampai kau kehilangan nikmatnya dan hanya mendapatkan getirnya saja. Maka nikmatilah dengan bersyukur dan memanfaatkan apa yang kau miliki dengan lebih baik lagi agar besok menjadi sesuatu yang berguna. Maka nikmatilah karena ia akan menjadi milikmu apa adanya dan hanya saat ini saja. Sedang besok bisa jadi semua telah berganti.

Jika hari ini engkau menderita, maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu, jangan biarkan dia pergi, kemudian ketika kau harus lebih menderita suatu saat nanti, engkau tidak sanggup menahannya. Maka nikmatilah rasa sedihmu, dengan mengenang kesedihan yang lebih dalam yang pernah kau alami. Dengan membayangkan kesedihan yang lebih memar pada hari akhir nanti jika kau tak dapat melewati kesedihan kali ini, dengan menemukan penghapus dosa pada musibah yang kau alami kini.

Maka nikmatilah rasa galaumu, dengan betafakkur lebih banyak atas permasalahan yang kau hadapi. Dengan memikirkan kedewasaan yang kan kau gapai atas resah dan galau itu. Dengan kematangan yang akan kau miliki setelah berhasil melewati semua ini. Maka nikmatilah rasa marahmu, dengan kemampuan mengendalikan diri. Dengan memikirkan penggugur dosa yang kan kau dapatkan. Dengan mendapatkan kemenangan atas diri pribadi yang tak semua orang dapat lakukan.

Maka nikmatilah, dengan berpikir positif atas apa pun yang kau jalani, atas apapun yang kau hadapai, atas apapun yang kau terima, karena dengan begitu engkau akan bahagia. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu jua. Maka nikmatilah, karena rasa puas dan syukur atas apa yang telah kita raih akan menghadirkan ketenteraman dan kebahagiaan. Sedang ketidakpuasan hanya akan melahirkan penderitaan. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, agar engkau tidak kehilangan hikmah dan keindahannya, saat segalanya telah tiada. Maka nikmatilah, agar tak hanya derita yang tersisa saat semua telah berakhir jua

Elegi Sepotong Jiwa

Malam makin dingin. Menggigil. Angina berkesiur rendah, merinaikan riak-riak hati. Kau tahu, Ry, di lelembah hati paling curam, aku masih memendam sejumput harap. Ah, tidak. Tidak. Harapan tiu masih terlampau jauh. Jauh dari alunan mimpi indah. Derai angin yang sejuk terlampau rentan untuk keurasakan. Kau tahu, apa yang membuatku meringis, Ry?

Jangan. Jangan kau tanyaka tentang itu, Ry. Bukan karena kau selalu bergelut dengan kebisuan, bukan karena kau yang terlalu jujur. Bukan. Bukan karena itu, ry. Tapi karena aku tak yakin kau mampu membendung air matamu. Karena aku tak yakin semilir akan mampu berbisik pada helai dedaunan. Karena aku tahu hati tak pernah mati, dan angin takkan pernah berhenti. Dalam keheningan yang sengaja ku cipta, adakah yang patut dihargai dari sebait air mata?

Ry, pada saatnya nanti kau pun akan tahu apa yang tak pernah ku pugnkiri dalam hidupku, apa yang tak pernah kuluakan dalam mimpiku, apa yang paling kusesali dalam perjalananku. Mencintaninya, Ry. Ya, mencintainya. Mencintainya adalah keindahan sekaligud teramat menyakitkan. Sesuatu yang paradoks, bukan? Dan aku harus sesalkan mimpiku, sesalkan diriku. Sesuatu yang teramat gila, bukan?

Betapa dungunya aku. Ketika orang yang kusayangi mengharapkanku, kau tahu, apa yang kemudian kulakukan? Menghindarinya, Ry. Ya, aku menjauhinya. Aku berusaha membencinya. Sesuatu yang amat menyakitkan, bukan? Itulah kelak yang akan selalu membebaniku. Itulah yang paling tidak dapat kumaafkan dalam hidupku, meski untuk diriku sendiri. Itulah yang paling mustahil untuk kulupakan, meski dalam mimpi sekalipun.

Tapi semua itu kulakukan demi harapan sepotong nurani, Ry. Demi senuah jiwa yang telah lama terpaut. Demi sebait keakraban yang telah lama terjalin. Ya, demi alas an yang sangat klasik; sebuah persahabatan. Sesuatu yang sangat mustail untuk kulakukan ; mencipta keretakan, sementara aku menari dalam derail keindahan. Tidak, Ry, tidak! Aku tak kuasa melakukan semua itu. Biarlah aku memilih menjadi pecundang dalam kemunafikan daripada harus mengorbankan kebersamaan.

Yah…, akulah yang harus merelakan segalanya. Dan lagi-lagi, akulah yang harus menangis dalam luka. Karena aku yakin, apa yang telah Tuhan tulis dalam hidupku, barangkali itulah yang terbaik, meski bukan untukku, tapi untuk mereka. Ya, merekalah yang harus bahagia, bukan aku. Hanya yang membuatku kecewa, kenapa harus ada cinta yang tercipta jika semuanya hanya luka sia-sia. Ry, hanya satu yang kupinta darimu. Aku hanya ingin kau berdoa untukku, Ry. Doakan, agar aku mampu memaafkan diriku. Memaafkan kebisuan jiwaku ….


life is agift

Life is a Gift. Hidup itu hadiah....
Maka setiap awal membuka mata, bersyukur adalah hal pertama yang harus dilakukan, atas kehidupan yang masih memberi kesempatan, atas keberadaan senyum semangat dari orang-orang yang menyayanngi dan kita sayangi, serta atas keyakinan bahwa hari akan menjadi hari yang menakjubkan...

--Have a great day--

"Maka nikmat apakah yang hendak kau dustai?" Begitu Tuhan selalu mengingatkan kita tentang makna hidup. Tentang proses pencarian kejatidirian yang sebenarnya. Makna yang kadang kerap kita lupakan, membuat kita terbuai dengan egoisme yang sesak. Bagitu banyak hal yang belum kita syukuri, tapi kita telah terlanjur mencercanya. Begitu banyak hal yang terlanjur kita dustai, padahal kita benar-benar membutuhkannya.

Life is a Gift. Hidup itu hadiah, begitu isi massage sobatku dari Palu. Maka sejenak kemudian saya berfikir. Saya terhenyak, merenungi setiap jengkal kalimat yang mengalir bagai dipenuhi daya magis. Ternyata begitu banyak "sesutu" yang saya lewatkan.

hari ini sebelum engkau berfikir untuk mengucapkan kta-kata kasar, ingatlah akan seseorang yang tidak bisa bicara....

sebelum engkau mengeluh mengenai citarasa makananmu, ingatlah akan seseorang yang tidak punya sesuatu untuk dimakan....

hari ini sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu, nestapa kegelisahanmu, ingatlah akan seseorang yang begitu mengharapkan begitu cepat meninggalkan dunia....

sebelum engkau mengeluh tentang begitu berat dan capeknya akan pekerjaanmu, ingatlah akan para pengangguran, orang cacat, dan mereka yang menginginkan pekerjaanmu.....

sebelum engkau menuding atau menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa......dan kita berharap pengadilan dari Tuhan....

dan ketika beban hidup tampaknya akan menjatuhkanmu, pasanglah senyuman di wajahmu dan berterimakasihlah kepada Tuhan karena engkau masih hidup dan ada di dunia ini....

life is a Gift....
maka jalanilah, nikmatilah, rayakan, dan isilah....



Kau Balut Luka dengan Keheningan Doa

Sebelum kau benar-benar pergi, meninggalkan rubaiat sunyi yang kau cipta bersama mimpi, berhentilah sejenak. Ya, hanya sejenak. Semacam jeda yang telah memberimu dahaga fatamorgana. Katamu, hidup ini lelah. Dan kegelisahan paling renta adalah kekalutan rasa yang tiba-tiba muncrat, melumuri jengkal demi jengkal perjalanan rindumu yang menggelora.

Maka marilah kita reguh makna secangkir kopi hangat di Cafe ini, sembari menikmati sisa-sisa mimpi di rentetan hari-hari yang membelenggu nurani. Meski hanya sekedar dongeng usang yang kau hayati, percayalah, kita telah memulainya dari hati sendiri, di tempat paling sunyi ini.

Tak seorang yang benar-benar mengerti akan pemahamannya sendiri, termasuk juga dirimu. Maka sebesar apapun kau membenci orang yang seharusnya paling kau cintai, penyesalan sia-siamu akan segera menanti. Hanyalah rerintik sunyi yang akan menusuk-nusuk jantungmu setajam belati.

Hampir setiap berkata, kau selalu mengawalinya dengan "percaya nggak?". Seolah kau tidak pernah benar-benar percaya pada kata-katamu, pun juga kehidupanmu. Padahal, sebelum berkata, sungguh, aku telah paham makna keterasingan yang lama menjeratmu. Kau teralienasi dari ruhmu sendiri. Maka mengapa kau harus masuk pada labirin yang kau ciptakan sendiri. Ini ironi sepotong mimpi...

Pada akhirnya aku tahu, lidahmu nyaris kelu untuk mengungkapkan gemuruh kata-kata. Padahal, sungguh, aku bisa menerka betapa magma laramu terus mendidih dalam dada. Meski tak ada satu kalimat pun yang mampu menyuguhkan kepastian, tapi sungguh, ya lagi-lagi sungguh, kau telah berhasil membalut luka dengan keheningan doa-doa. Tanpa sadar, kau telah mengajariku makna ketabahan; bahwa kehilangan tak semestinya membawa penderitaan.

Malam ini kita telah berusaha melumat matahari. Menyemai mimpi menjadi serpih-serpih sunyi. Mengubur ego dalam liang-liang sepi...

Sabtu, 02 Juli 2011

Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji (3)




 
 
Kamis, 16 Juni 2011

Bila Kegoncangan Menghadang
BIASANYA diakibatkan oleh pelbagai macam ujian dan cobaan yang datang melanda bertubi-tubi, ditambah beban yang terus meningkat, padahal terasa kemampuan tidak mendukung wajar saja kalau kegoncangan itu terjadi.
Persoalan yang dihadapi para pejuang kebenaran sangat kompleks. Seringkali mereka dihadapkan situasi yang serba dilematis, paradoxal antagonistis. Ibarat telor di ujung tanduk. Mundur dari arena perjuangan tidak mungkin, sementara maju terus kemampuan sangat tidak mendukung. Segalanya sudah sangat mendesak, tidak ada yang bisa ditunda. Kiri kanan tidak ada yang bisa menolong, malahan semua menunggu kejatuhannya karena cemburu, iri dan dengki.

Dalam kondisi seperti itu bencanapun datang, ancaman kebencian terus membayang, kekhawatiran kelanjutan misi selalu menggoda, mencemaskan kalau-kalau yang tidak diinginkan itu terjadi. Peningkatan potensi terasa begitu lambat, berlawanan dengan beban yang terus membanjir. Selain itu umur juga mengejar, padahal pekerjaan banyak yang masih terbengkalai. Sungguh sangat suram, terkadang terasa dunia begitu sempit.

Kekhawatiran di sini bukan kekhawatiran karena kekerdilan jiwa, akan tetapi justru karena besarnya tanggung jawab. Keinginan yang keras untuk dapat merampungkan semua kerja, supaya dapat memenuhi panggilan Allah dengan perasaa lega, tidak meninggalkan kebengkalaian. Khawatir tidak ada yang selesai dengan baik.

Kalau sudah begini tidak ada lagi alternatif lain, dan tidak ada daya sama sekali, selain lari segera kepada Allah menyerahkan diri dengan pasrah. Memohon sangat ampunan-Nya, mengharapkan tetesan ma'unah-Nya, supaya terhindar dari amarah Allah SWT. Itulah pelarian terakhir, mau ke mana lagi, tinggal terserah kepada Tuhan saja, bagaimana kebijaksanaan-Nya.

Kondisi mental seperti ini akan dialami oleh siapapun yang berusaha menjaga mutu kualitas syahadatnya. Di kala perang Badar sedang berkecamuk, Rasulullah nyaris keseleo ngomong, mengkhawatirkan kalau pasukannya yang begitu sedikit kalah perang dan mati syahid.

Beliau bermunajat kepada Tuhan: "Lalu siapa lagi yang menyembah-Mu Ya Allah". Lambang harapan yang sudah sangat luar biasa. Ratapan ini kalau difikir ulang tidak beralasan, namun itulah yang terjadi sebagai wujud ketidakmampuan fikiran membahasakan perasaan. Tergambar bayangan perasaan yang melahirkan ratapan tersebut, betapa nian keadaannya.

Peristiwa yang sama juga terjadi di saat perjanjian Hudaibiyah. Reaksi para sahabat mogok melaksanakan perintah gunting rambut, karena Nabi mengalah pada sisi perjanjian dengan orang kafir, menyebabkan Nabi mengeluhkan nasib kehancuran ummatnya yang mulai tidak taat. Untung isterinya menjamin kalau ummatnya tidak sejelek itu. Isterinya menasihati agar Nabi keluar rumah memberi contoh dulu dengan memotong rambutnya. Dengan contoh itu mereka menirunya.

Kejadian seperti itu tidak sekali dua kali dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya di Makkah, ketika awal-awal langkah perjuangannya, tapi juga di Madinah, di saat penyusunan barisan, kristalisasi kekuatan, konsolidasi dan internalisasi sudah jalan.

Itulah liku-liku perjalanan Syahadat dalam menemukan jati dirinya. Mutu kualitas dasar syahadat baru bisa dijamin sesudah dibanting-banting dengan berbagai ujian dan cobaan. Mulai dari hidup sengsara dalam jangka waktu yang tidak singkat sampai ke tingkat ujian yang sangat menggoncangkan.

Hal itu terjadi karena ada kegiatan, ada aksi dan reaksi, ada terobosan-terobosan. Manakala kita tampil memikul tanggung jawab yang besar, maju mengujicoba kemampuan potensi syahadat yang kita miliki, mengangkat kerja yang orang lain anggap berat dan sulit, mencoba melayani setiap tantangan yang mencemaskan, maka di sanalah akan kita temukan reaksi yang keras dan benturan yang dahsyat. Bisa jadi berupa malapetaka, bisa berbentuk hidup sengsara, atau goncangan yang luar biasa.

Hanya dengan demikian baru dimungkinkan pertumbuhan dan pematangan mutu kualitas syahadat. Syahadat dapat tumbuh berkualitas manakala sudah kita lalui proses yang sangat menegangkan itu. Inilah yang Allah lukiskan sebagai puncak kegoncangan yang luar biasa, dengan firman-Nya :
إِذْ جَاؤُوكُم مِّن فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنكُمْ وَإِذْ زَاغَتْ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا
هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً شَدِيداً
"(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu, dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kamu menyangka kepada Allah dengan bermacam-macam purba sangka. Di situlah diuji orang-orang yang beriman dan diguncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat (diguncangkan dengan seguncang-guncangnya)." (Q.S. Al-Ahzab : 10-11).
Proses seperti itu dimaksudkan untuk dapat lebih merasakan betapa arti dan nilai serta nikmatnya bantuan Allah SWT pada saat tidak bisa lagi berbuat apa-apa, di kala sudah kehilangan akal, di kala semua cara sudah ditempuh, di kala tidak tahu lagi mau berbuat apa. Alangkah nikmatnya kalau pada saat seperti itu tiba-tiba bantuan Allah datang menjungkirbalikkan keadaan.

Semua berubah secara drastis dan dramatis. Asalnya terhina berganti menjadi terhormat, mulanya melarat berubah menjadi konglomerat, dulunya dilecehkan kemudian diperhitungkan, dari bawah tapi berproses ke atas.

Hari itulah yang oleh Allah disebut sebagai hari pergiliran, regenerasi atau reformasi, restrukturisasi atau rekonstruksi.

"Dan masa itu Kami pergilirkan di antara manusia. Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'." (Q.S. Ali 'Imran : 140).

Luar biasa terasanya goresan dan sentuhan kasih sayang itu, begitu terkesan sehingga dipastikan langsung menambah mutu syahadat. Betapa sungguh Maha Kuasa dan Maha Pemurah Allah SWT kepada kita khususnya.

Akan tetapi selama yang kita kerjakan itu adalah hal-hal yang biasa-biasa saja, mana mungkin akan dapat dirasakan bantuan Allah tersebut. Bukan berarti kemudian kita terlalu idealis tanpa perhitungan data dan fakta.

Bukan berarti kita harus membuat program-program yang khayalis tanpa dukungan kenyataan yang menunjukkan kewarasan dan kewajaran. Kaki kita tetap membumi tapi keinginan kita terus melangit. Bukan mengawang, tapi ada tempat berpijak agar dapat melompat setinggi mungkin.

Karena sudah terjebak oleh kesyikan kerja rutin, sudah puas dengan hasil yang begini-begini saja, sudah bangga kalau bisa membangun gedung sekolah bertingkat lima, puas bila sudah mampu dua tahun sekali mengadakan konggres dan muktamar, maka tak akan tumbuh lagi kualitas syahadat. Kepuasan dan kebanggaan akan mengebiri instrumen kekhalifahan yang sangat potensial.

Nampaknya inilah penyakit ummat yang paling parah saat ini, membiarkan syahadatnya mandeg, tidak berproses, menelantarkan syahadatnya dalam kadar kualitas yang sangat rendah. Sementara belum ada yang mencoba menyodorkan metode pembinaan untuk terwujudnya syahadat yang berkualitas menurut tuntutan yang ideal.

Membina Ummat Tahan Banting

Pola pembinaan ummat yang selama ini kita terapkan sudah saatnya mengalami beberapa koreksi. Ada baiknya manakala kita beranikan diri untuk mengubahnya, agar kita dapat memetik buah nyatanya.

Dalam melakukan pembinaan, selama ini kita kurang berani melibatkan ummat secara langsung dalam kegiatan-kegiatan yang merupakan tindak lanjut eksisnya syahadat. Kita enggan mengajak mereka berperan aktif dalam mempertahankan dan mengembangkan syahadat. Akibatnya mereka kekurangan pengalaman, kekurangan data yang dapat menunjang upaya pencapaian kualitas standar syahadat.

Mencari pengalaman melalui keterlibatan langsunglah satu-satunya cara paling efektif untuk merasakan sendiri khalawatul-iman, kenikmatan beriman. Bagaimana mungkin ummat bisa menikmati kalau belum pernah mengalami. Akan sangat berbeda bobot keyakinan yang diperoleh lewat berita dibandingkan dengan yang dirasakan secara langsung.

Selama hal tersebut hanya berupa teori yang tak beda dengan berita, selama bentuknya hanya sekedar informasi dan indoktrinasi semata, tidak dengan menerjunkan langsung di lapangan agar mereka dapat mengalami sendiri pahit getirnya mempertahankan syahadat, suka dukanya mengembangkan syahadat sampai kepada titik klimaksnya sebagai fase-fase penentu ujicobanya, terlalu sulit kita harapkan kualitas yang baik itu.

Sebab bagaimanapun juga kata putus penilaian adalah di tangan Allah SWT, sehingga tidak mungkin dapat dimanipulasi. Harus dibuktikan bagaimana persisinya mewujudkan dan menyatakan kebenaran pernyataan syahadatnya. Bentuk konkrit eksisnya syahadat adalah kerja nyata, berjuang dan berkorban. Mereka selalu aktif di lapangan, di front dan diproyek.

Oleh karena pencapaian dan peningkatan kadar kualitas syahadat tidak mengenal titik akhir, maka tiada hari tanpa karya, tiada waktu tanpa perjuangan, tiada detik tanpa pengorbanan. Keberadaan syahadat pada hakikatnya adalah potensi yang bergerak terus. Tidak mungkin diam pasif dan beku.

Dia merupakan perlatan yang semakin banyak digunakan justru makin meningkat potensinya, sekaligus mendatangkan hasil dan produksi strategis yang terus menanjak jumlah dan jenisnya. Sehingga tidak mungkin ia mau berdian diri tanpa gerak dan karya, apalagi sampai menyerah tunduk kepada keadaan. Sebab struktur keberadaannya memang sudah didesain sedemikian rupa untuk terus bergerak maju jauh ke depan.

Dengan pengalaman tersebut, lewat perjalanan panjang yang sangat bervariasi makin hari semakin ketemu jati diriya. Semakin yakin kalau bayangan sebagai pancingan motivasi selama ini, ternyata memang bisa terwujud menjadi kenyataan. Sampai-sampai ramalan yang tadinya paling mustahil sekalipun bisa disaksikan menjadi kenyataan di lapangan. Hal inilah yang dapat menciptakan voltase dan dinamika serta badai semangat kerja semakin membara dan terus bertambah.

Peningkatan potensialitas dan kualitas syahadat bukan untuk kemudian tinggal dinikmati, akan tetapi justru untuk siap menghadapi kerja dan tantangan yang lebih berat. Bila sudah demikian berarti sudah ketemu jati diri syahadat. Sudah mencapai standar kualitas dasar syahadatnya yang sedang menuju ke tingkatan berikutnya guna mengangkat proyek baru yang lebih menantang, lebih berat dan lebih besar lagi.

Di sinilah letak nikmat asyiknya syahadat. Ibarat kendaraan, setiap ban berputar ke depan, berarti terhasilkan langkah maju menuju tempat tujuan. Semakin banyak putaran bannya, semakin dekat sasarannya. Lelah dan capek nyaris tidak begitu terasa lagi, akibat hasil yang diperoleh menjadi begitu mengasyikkan, kerja keras dan tantangan justru mengasyikkan. Karenanya, kerja keras dan tantangan justru jadi hiburan.

Kenyataan yang paling mendukung sebagai rahasia dari mekanisme yang seperti ini, ialah ter-afdruk-nya bantuan Allah menjadi begitu jelas. Kalau selama ini hanya menjadi bahan ceramah, atau kita temukan dalam kisah-kisah para Rasul dan sahabatnya, maka sekarang juga sudah dapat kita rasakan.

Dengan keterlibatan langsung menerjemahkan syahadat ini di lapangan, bantuan Allah yang tadinya seperti klise saja menjadi begitu nyata dan terang benderang. Sehingga bukan lagi berita akan tetapi menjadi pengalaman sendiri yang dapat dirasakan secara langsung.

Kisah-kisah dalam sejarah yang mengundang kekaguman karena rasa-rasanya berbau hal-hal yang sulit dipercaya -terkesan terlalu dibikin-bikin- ternyata setelah terlibat langsung, kekaguman itu menurun. Dapat dikatakan, yang lebih serem lagi dari itu semua bisa dirasakan dan disaksikan sendiri langsung di sekitarnya, bahkan mungkin pada dirinya.

Akhirnya bukan lagi bertambah kagum jadinya, cuma tambah yakin dan percaya kalau itu semua memang terjadi, dan bisa terjadi lagi sekarang dan yang akan datang. Tinggal terserah siapa yang mau mengulangnya. Kesempatan dan peluang selalu terbuka selebar-lebarnya.

Masalahnya Allah tetap kuasa sebagaimana dulu, dan al-Qur'an sebagai kitab petunjuk untuk itu masih utuh, belum dan tidak akan berubah. Itu kuncinya. Itu rahasianya. Tinggal terserah kepada kita. Yang jelas dengan syahadat yang betul-betul eksis semua pengalaman para sahabat Nabi terlalu mungkin dapat dinikmati bahkan bisa saja melebihi.

Bila modal kualitas dasar syahadat itu digunakan dan digerakkan sebagaimana mestinya, pasti akan mendapatkan hasilnya secara langsung, asalkan syahadatnya tidak dikebiri. Yang perlu, terus bergerak mengangkat kerja dan tantangan baru, pasti akan segera dapat dilihat dan dirasakan sendiri sebagai bukti bahwa janji Allah bukan basa-basi.

Akan tetapi manakala yang dikerjakan adalah kerja rutin yang nyaris tidak mempunyai tantangan, tentu saja sulit untuk bisa menyaksikan sendiri apa dan bagaimana serta seperti apa bantuan Allah SWT itu.

Bagi yang mau merasakan arti dan gunanya syahadat tidak ada alternatif lain, kecuali terjun langsung dalam dan tampil memikul tanggung jawab sebayak mungkin. Hanya dengan cara itu ada kemungkinan bisa memahami nilai persisi syahadat yang dimilikinya serta bantuan Allah yang dirindukannya.

Kalau dalam al-Qur'an Allah sering menginformasikan kepada kita tentang apa dan bagaimana Dia mengantar Rasulullah merasakan langsung bantuan tersebut, maka itu adalah contoh-contoh kasus. Contoh-contoh itu diharapkan dapat menjadikan kita lebih yakin, agar supaya segera mencobanya di lapangan sebagai uji kualitas syahadat kita masing-masing.

Satu lagi yang perlu kita ingat, firman Allah : "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad diantara kamu." (Q.S. At-Taubah : 16)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللّهُ الَّذِينَ جَاهَدُواْ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang bersabar." (Q.S. Ali 'Imran : 142). Wallahu a'lamu bishshawab.* (habis)
(alm) KH. Abdullah Said, penulis adalah pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah


sumber : http://www.hidayatullah.com/read/17544/16/06/2011/generasi-syahadat,-generasi-tahan-uji-%283%29.html

Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji (2)




 
 
Rabu, 15 Juni 2011

Bila Kesengsaraan Menyerang
Kesengsaraan dapat diartikan sebagai kehidupan yang sulit dan pahit, serba kekurangan, serba memprihatinkan, dan menimpa dalam tempo yang relatif tidak sebentar. Karena kita datang dengan satu sikap, hadir dengan satu pendirian, membawa prinsip yang tidak bisa ditawar, adalah sangat wajar bilamana langsung disambut dengan benturan sikap di sana-sini.

Permusuhan dan kebencian segolongan manusia yang tak senilai seringkali membawa jatuhnya korban. Lewat berbagai usaha mungkin sekali kita sengaja dikucilkan, diisolir dari pergaulan umum.

Dengan segala macam cara dan upaya tak akan berhenti mereka membuat makar untuk mecelakakan dan merugikan bahkan sampai kepada menghancurkan dan memusnahkan kita. Bentuknya, bisa lewat sabotase dan blokade ekonomi, issu dan fitnah politik, serta gangguan yang beraneka ragam.

Target mereka hanya satu, yaitu agar supaya orang-orang yang berusaha menjaga dan memelihara syahadatnya hidup dalam kesengsaraan, yang pada akhirnya kembali berbalik mengikuti dien dan ajaran mereka.

"Dan tiada akan rela orang Yahudi dan Nasrani kepadamu, hingga engkau mengikuti ajaran mereka." (Q.S. Al-Baqarah : 120).

Sebenarnya sengsara di sini tidak seseram yang dibayangkan sebagian orang. Tidak berarti habislah segalanya seperti dugaan sekelompok orang. Memang jelas hidup sengsara itu tidak enak, tidak menyenangkan. Yang pasti, dengan sengsara ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan. Tetapi bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Cukup banyak yang bisa kita lakukan. Masih tetap terbuka peluang yang mungkin untuk dimanfaatkan.

Kesengsaraan bisa jadi akan melahirkan satu motivasi yang cukup tinggi yang pada akhirnya berubah bentuk menjadi energi. Bila energi-energi itu dihimpun dalam satu wadah, maka akan berubah menjadi sinergi. Dari sana akan lahir sebuah revolusi.

Nampaknya hidup sengsara ini sangat perlu pada awal-awal perlangkahan. Ada instrumen ruhaniah kita yang dapat diaktifkan secara efektif hanya dengan melalui hidup yang serba tidak menyenangkan itu. Kesengsaraan dan kemelaratan dapat menciptakan irama serta ritme kerja keras, militansi dan daya juang.

Inilah target sampingan yang hanya bisa diperoleh melalui hidup sengsara. Asal kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk terciptanya efek sampingan yang positif tadi, bergunalah hidup sengsara itu, sebagai jembatan penyeberangan untuk tiba di pelabuhan surga.

Yang disayangkan kalau hidup sengsara itu justru dijadikan keasyikan atau hobby. Lebih parah lagi kalau kemiskinan dan kemelaratan dijadikan kebanggaan. Sungguh merupakan tindak kebodohan. Seharusnya dengan kemelaratan akan timbul motivasi yang kuat untuk mengadakan perubahan. Dengan kemiskinan dapatlah aktif instrumen yang sangat potensial dalam diri untuk melahiran karya sejarah. Kemiskinan dan kemelaratan sama sekali bukan untuk dipamerkan dan dibanggakan.
Kesengsaraan, kemiskinan dan kemelaratan adalah jembatan penyeberangan yang tentu saja segera akan ditinggalkan bila kita sudah tiba di tempat tujuan. Kita akan menyesal nantinya bila tetap asyik berdiam diri di jembatan penyeberangan saja. Tak kunjung tiba di seberang, pada kehidupan yang lebih baik, untuk kemudian meneruskan perjalanan lagi menuju seberang yang jauh lebih baik lagi. Begitulah seterusnya.

Hidup Sengsara dan Karya Monumental 

Hidup sengsara adalah pabrik yang paling produktif untuk melahirkan ide-ide brilian, yang akan menciptakan karya monumental, buah sejarah yang dinikmati oleh sekian banyak generasi belakangan.

Akan tetapi kalau energi yang tersimpan dalam diri hanya digunakan untuk melawan derita, sekedar berjuang mempertahankan hidupsetiap hari, dengan sikap-sikap yang hypokrit, sungguh menjadi bencana dunia akhirat yang patut diratapi.

Menyia-nyiakan kesempatan hidup menderita tanpa melahirkan ide-ide besar yang berbobot tinggi dengan karya-karya sejarah yang monumental sepanjang masa, dapat diibaratkan orang yang sedang menyeberangi jembatan yang sangat indah, tetapi ia sendiri terlupa kalau ini hanya jembatan penyeberangan darurat menuju surga di seberang sana. Karena lupa, maka berhentilah ia di atas jembatan itu karena merasa sudah tiba.

Kini tinggal menunggu kendaraan lewat yang akan menggilasnya atau menunggu runtuhnya jembatan tersebut, sebelum sempat membangun rumahnya di seberang sana. Sungguh sangat luar biasa cara Allah mengantar kita untuk tiba di surga, baik surga dunia ataupun surga di akhirat.

Dengan melalui malapetaka yang beraneka ragam serta hidup sengsara, betu-betul dapat dimengerti betapa effektifnya kondisi tersebut untuk melahirkan kemampuan yang memungkinkan kita bisa membangun surga tersebut, di dunia dan juga di akhirat.

Dengan malapetaka dan sengsara, di samping efek positif yang merupakan nilai tambah, sesungguhnya yang lebih penting lagi adalah mantapnya kesadaran akan kekuasaan Allah di samping keterbatasan diri.

Selain itu, dengan hidup sengsara kita dapat menghargai arti dan nilai setiap karunia Allah SWT. Kita dapat bersyukur sebagaimana mestinya. Dengan begitu akan terundang karunia dan tambahan nikmat yang lebih banyak lagi.

"Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (Q.S. Ibrahim : 7).

Hidup sengsara dan malapetaka itu termasuk fasilitas yang diperlukan untuk menciptakan surga dunia akhirat. Tahapan tersebut sangat diperlukan agar supaya nantinya pada saat karunia yang banyak itu datang, sudah ada persiapan serta kemampuan untuk memanfaatkan sebagaimana mestinya. Tercapailah target utama bahwa semua yang ada dapat digunakan untuk menyusun dan memantapkan kekuatan dalam rangka memberikan kesejahteraan yang lebih baik lagi bagi kehidupan ummat manusia, bukan lantas digunakan berfoya-foya, mabuk dan lupa diri.

Alangkah sederhananya Allah mengungkapkan liku-liku perjalanan menuju surga dalam proses yang sangat menarik itu. Dengan memperhatikan konteksnya, jelas hidup sengsara dan malapetaka yang ada dalam perjalanan bukanlah siksaan dan penganiayaan yang harus diterima dengan pasrah sebagai hukuman. Tidak sama sekali, sebab tetap terbuka peluang untuk berbuat banyak.

Nampak betul kalau itu semua semata-mata upaya dan cara Allah menciptakan suatu kondisi guna memancing respons atau reaksi, agar melahirkan arus atau badai dalam satu sistem dan mekanisme kerja yang menjamin tercapainya kemenangan yang diperjuangkan.

Dengan dukungan rahman rahim Allah SWT, sangat memungkinkan bagi setiap orang untuk menikmati hidup yang nyaman dan mengasyikkan. Walaupun dalam kondisi menderita dan sengsara. Terlebih lagi bagi mereka yang tidak punya kepedulian pada orang lain, tak punya tanggung jawab untuk mensejahterakan orang lain.

Sangat dikhawatirkan kalau ummat Islam juga terjebak oleh perasaan asyik dan nikmat dalam kesengsaraan, sebab memang tidak melihat dan kurang bergairah mencapai hidup yang lebih baik. Mereka bisa berpendirian hidup seperti itu sudah cukup. Adapun orang di sekitarnya memerlukan pertolongannya, bukan urusannya. Akibatnya peluang serta kesempatan yang selalu terbuka untuk disergap, dibiarkan saja berlalu. Padahal ummat manusia sangat menantikan peran dan jasa ummat Islam.

Untuk merangsang dan menggali potensi raksasa yang ada dalam diri manusia, khususnya ummat Islam yang harus tampil menyelamatkan keadaan, rasanya baru kita mengerti kalau sangat besar gunanya fase kehidupan derita dan sengsara serta sentakan-sentakan malapetaka tersebut. Asal saja dapat dimanfaatkan dengan baik sebagaimana mestinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hidup sengsara dan malapetaka itu termasuk fasilitas yang diperlukan untuk menciptakan surga dunia akhirat. Dengan kata lain, kesengsaraan adalah jembatan penyeberangan.

Sebagimana layaknya jembatan, kemelaratan adalah sarana penghubung mencapai suatu kehidupan yang lebih layak, yang memungkinkan ummat Islam bisa berbuat lebih banyak lagi untuk kepentingan kesejahteraan ummat manusia, yang ditandai dengan tegaknya daulah kekuasaan Allah SWT di muka bumi ini.

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di atas bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (Q.S. An-Nuur : 55).

Sulit diterima kalau hidup sengsara itu menjadi permanen, menjadi 'mabniyun' terus-menerus. Yang benar, hidup sengsara hanya diperlukan untuk menggali potensi guna menciptakan hidup yang lebih manusiawi atau lebih layak. * (bersambung)

(alm) KH. Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah


sumber : http://www.hidayatullah.com/read/17524/15/06/2011/generasi-syahadat,-generasi-tahan-uji-%282%29.html

Generasi Syahadat, Generasi Tahan Uji (1)




 
 
Rabu, 08 Juni 2011



BESAR kecilnya tanggungjawab seseorang menjadi tanda kualitas syahadatnya, yang dapat diukur pada caranya memanfaatkan waktu. Seorang yang berkualitas selalu berusaha menumbuhsuburkan bibit syahadatnya agar dapat terus ditingkatkan lebih tinggi lagi.

Tiada waktu tanpa peningkatan kualitas syahadat. Tiada program kecuali peningkatan iman. Tidak mati kecuali dalam puncak jenjang syahadat, pasrah diri kepada Tuhan.

"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah engkau mati kecuali dalam Islam." (Q.S. Ali Imran : 102).

Rute perjalanan yang harus dilalui untuk membuktikan syahadat bisa dikatakan singkat, bisa juga panjang. Hal tersebut tergantung pada kadar mujahadah, dukungan ibadah dan ukuran besar kecilnya tanggungjawab yang dipikul.

Namun demikian, dibalik perbedaan jauh rute itu, ada kesamaan irama dan ritme perjalanan. Jurang yang terjal, tebing yang tinngi pasti ditemukan dalam perjalanan.
Bahkan dengan tegas Allah merinci tikungan-tikungan tajam yang akan dilewati dalam perjalanan proses uji coba penentuan peringkat kadar kualitas syahadat dengan firman-Nya:

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya : 'Bilakah datangnya pertolongan Allah ?'. Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat." (Q.S. Al-Baqarah : 214).

Ada tiga tebing tinggi dan jurang terjal yang harus dilewati sebelum seseorang sampai ke titik kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah. Baik kenikmatan dunia apalagi yang di akhirat.

Ketiga tebing dan jurang tersebut dialami oleh semua orang yang ingin menikmati surga, tak terkecuali Nabi dan Rasul Allah.

Sudah merupakan garis ketentuan Allah, atau sudah menjadi sunnatullah, hukum alam yang sudah pasti, bahwa untuk mencapai keadaan yang ideal diperlukan proses yang tidak ringan.

"Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah." (Q.S. Al-Ahzab : 62).

Andaikan para Nabi dan Rasul mengetahui jalan mulus menuju surga tanpa mengalami hambatan dan rintangan yang serba menyulitkan, tanpa malapetaka dan ujian, tanpa kesengsaraan dan kemiskinan, maka mereka tentu akan memilih jalan itu. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu.

Semua Nabi dan Rasul mengalami nasib yang sama, menempuh rute perjalanan dengan ritme dan irama yang sama. Mereka menderita, selalu ditimpa malapetaka, ditimpa kemelaratan yang tiada tara, juga dihantui oleh perasaan yang serba takut.

Hanya imanlah yang memberikan kemampuan pada mereka untuk tetap berjalan dalam rel yang sudah ditentukan.
Bukan hanya itu, segala cobaan yang datangnya dari Allah mampu dimanfaatkan untuk mempertebal keimanan, bukan sebaliknya melemahkan iman.

Syahadat memang memerlukan proses pembajaan. Dan proses pembajaan yang baik hanyalah melewati berbagai kesulitan, karena sesudah kesulitan itulah akan muncul kemudahan. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan." (Q.S. Al-Insyirah : 5-6).

Bila Malapetaka Datang 
Malapetaka merupakan suatu kondisi yang sangat tidak menyenangkan, datang dengan tiba-tiba di luar perkiraan, dan tanpa persiapan sama sekali. Bila kurang waspada keadaan tersebut bisa berakibat sangat fatal. Bisa jadi peristiwa yang tiba-tiba itu membuat gairah jihad berkurang, ghirrah dan semangat juang menurun tajam.

Bahkan kadang begitu emosional menuduh dan mencap banyak pihak sebagai biang keladinya. Atau sebaliknya, menganggap hal tersebut sebagai taqdir yang wajar-wajar saja, tidak perlu dicari hikmah dan maknanya. Sangat disayangkan bila kondisi seperti itu tidak dimanfaatkan untuk meraih berbagai keuntungan.

Petaka yang menimpa kaum muslimin sebenarnya hanyalah ujian atau mungkin peringatan karena kasih sayang Tuhan. Bagi seorang pejuang kondisi seperti ini dapat dimanfaatkan minimal untuk konsolidasi organisasi, pengkristalan kekuatan, dan penyusunan ulang barisan yang lebih rapi, serta upaya koreksi ke dalam untuk perbaikan kebijaksanaan di masa mendatang.

Peristiwa itu patut dijadikan sebagai sentakan teguran, untuk terciptanya semangat dan motivasi baru yang lebih merangsang, lebih mendorong berbuat yang lebih baik.
Karena datangnya serba mendadak, wajar kalau membuat suatu kegoncangan. Nabi sendiri mengalami peristiwa itu.
Ketika kaum musyrikin Quraisy mencapai puncak kemarahannya, ketika Nabi menggantungkan diri pada perlindungan paman dan isterinya, pada saat itu keduanya diambil oleh Allah, mati. Saat itu jiwa Nabi betul-betul terguncang, sehingga tersebut tahun itu sebagai 'Amul Khuzn', tahun duka.

Boleh-boleh saja kita oleng karena badai dan ombak mengamuk begitu kuat. Tapi bagaimanapun kita tiak boleh sampai tersungkur jatuh atau kembali ke tepian. Di sinilah diperlukan seorang nahkoda yang cukup lihai mengemudikan kapal. Dibutuhkan seni kepemimpinan yang cukup handal.

Peristiwa seperti ini tak bisa dihindari. Pasti akan dialami oleh setiap orang yang hendak meningkatkan kualitas syahadatnya. Utamanya mereka yang menjadi pioner dan perintis perjuangan.

Dengan demikian harus disiapsiagakan diri menerima kemungkinan tersebut sebagai sesuatu yang bisa memberi manfaat bila diupayakan dengan baik. Sebab ia juga sekaligus berfungsi sebagai proses pematangan syahadat.
Melalui peristiwa ini akan terseleksi apakah mereka masih bersangka baik kepada Allah SWT, atau malah menuduh Allah dengan berbagai macam dakwaan?
Kematian kedua tumpuan Nabi, paman sekaligus isteri beliau secara beruntun adalah teguran dan peringatan Allah bahwa tak sepatutnya beliau bergantung pada keduanya.

Peristiwa itu sesungguhnya pelajaran bagi Nabi bahwa hanya Allah yang dapat melindungi dirinya, bukan karena kepiawaian pamannya, juga bukan karena kebangsawanan isterinya.

Melalui peristiwa pahit ini kita rasakan sendiri peringkat kadar kualitas syahadat yang kita miliki. Justru pada saat malapetaka itu datang, betapapun kecilnya, saat itulah kita bisa melakukan evaluasi. Itu tidak berarti kita kemudian mencari-cari malapetaka, sebab kalau demikian maknanya bisa lain, dan hasinyapun juga berbeda. Merencanakan serta mengundang malapetaka bisa bermakna menganiaya diri sendiri.

"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al-Baqarah : 195).

Keberhasilan untuk tetap stabil dan normal di dalam menerima sentakan yang seperti itu adalah wujud kemampuan memperlihatkan mutu kadar kualitas syahadat.
Perlu keluwesan untuk tidak terlalu kaku memahami ungkapan ini, sebab bisa saja malapetaka tersebut sifatnya tidak langsung.

Mungkin saja berbentuk kegagalan secara total beberapa target yang serius dikejar, atau kemacetan urusan setelah menelan tidak sedikit biaya dan tenaga, atau berupa peristiwa yang mengganggu serta merusak program yang sementara berjalan dengan baik.

Perlu diingat, malapetaka itu bentuknya sentakan, tidak terus-menerus. Peristiwa ini sesungguhnya hanya bersifat teguran peringatan, atau uji coba penjajakan, disamping upaya pemantapan syahadat. Sejauh mana seseorang itu bisa berprasangka baik kepada Allah SWT.

Itulah sebabnya terkadang terasa timbangannya demikian berat, sehingga seseorang dibuatnya kehilangan kendali. Peristiwanya bisa saja sejenak, tetapi pengaruh dan dampaknya yang lama dan berlarut-larut. Kalau kurang kontrol bisa mengundang malapetaka baru yang berkelanjutan.

Padahal andaikan kita mampu memahami apa arti setiap malapetaka yang datang, bisa saja malapetaka itu dijinakkan dan ditekan efeknya seminimal mungkin, sehingga tetap bisa dipetik manfaatnya.

Yang pasti, malapetaka ini sulit untuk dihindari sama sekali, sebab sudah semacam keharusan yang mengiringi keberadaan syahadat. Selama irama dan ritme perjalanannya mengarah ke depan, menuju sasaran dermaga yang telah ditentukan, bagaimanapun hati-hatinya pasti akan berhadapan dengan batu karang yang menghadang. Bertemu dengan ombak dan gelombang yang mengganggu, serta angin topan yang mengancam.

Beberapa kemungkinan bisa terjadi, entah kemudi yang patah, layar yang robek, petugas yang lalai, peralatan yang jatuh, perbekalan yang habis, atau kerusakan-kerusakan yang lain. Adanya persiapan menghadapi kemungkinan itu tentu akan menghasilkan akibat yang sangat berbeda dibanding tanpa persiapan sama sekali.
Ketiadaan persiapan akan menjadikan kepanikan dan kalang kabut begitu malapetaka datang. Akibatnya petaka lain akan terundang beruntun, karena fikiran tidak berfungsi dan hanya emosi yang dominan.

Dengan modal syahadat yang berintikan keyakinan, serta kesadaran akan realitas diri yang sudah dilengkapi oleh Allah berbagai instrumen dan peralatan yang memadai dalam menghadapi setiap malapetaka, hati pasti menjadi tenang. Dan satu lagi yang pasti, Allah selalu siap menolong hamba-Nya yang memerlukan.

Yang perlu kita sadari bahwa inilah resiko yang menjadi saksi nyata akan eksisnya sebuah Syahadat. Adapun selanjutnya bagaimana menghadapi setiap resiko, adalah soal seni, soal taktik, soal gaya, soal format perwatakan, soal kematangan pribadi, soal pengalaman.

Semuanya cukup mempengaruhi reaksi spontan terhadap setiap resiko yang terpaksa harus kita terima apa adanya.

Yang penting bahwa kita bisa memperoleh manfaat, setidak-tidaknya menjadikan diri ini sadar sepenuhnya akan keterbatasan kita, kemudian mengakui bahwasanya kekuasaan itu sepenuhnya di tangan Allah SWT. Dengan demikian datangnya malapetaka berarti kesempatan dan media untuk meningkatkan kualitas Syahadat. */ (Bersambung).
(alm) KH. Abdullah Said, penulis adalah pendiri Pesantren Hidayatullah

sumber; http://www.hidayatullah.com/read/17421/08/06/2011/generasi-syahadat,-generasi-tahan-uji-%281%29.html

Selasa, 28 Juni 2011

10 Alasan Baik Mengapa Kita Perlu Berdoa Dengan Tekun


1. Mengurangi daya stress yang ditimbulkan oleh beraneka ragam persoalan hidup yang kita alami mereka yang suka malas berdoa akan lebih mudah untuk mengalami stress
2. Menurunkan tingkat emosi atau kemarahan mereka yang lebih sering berdoa akan lebih mampu mengendalikan diri dalam hal emosi dan kemarahan mereka yang sedang mau marah dan kemudian berdoa niscaya emosinya menjadi stabil
3. Mengurangi bahkan menghilangkan rasa putus asa mereka yang tekun berdoa akan memiliki kemampuan lebih untuk tidak mudah putus asa saat berada dalam kegagalan dibanding mereka yang jarang bahkan sama sekali malas berdoa
4. Meningkatkan ketegaran hati mereka yang lebih tekun berdoa akan lebih tegar menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar yang dikehendakinya bahkan peristiwa pahit sekalipun
5. Meningkatkan daya tahan tubuh dari penyakit-penyakit yang disebabkan gangguan psikis dengan ketekunan dalam berdoa, seseorang akan memiliki daya tahan secara fisik karena mampu untuk menghadapi dan menjalani kehidupan dengan segala peristiwanya dalam terang Kehendak Allah, sehingga tubuh tidak menjadi mudah lemah karena beban pikiran dan pekerjaan (bhs Jawa Nrimo)
6. Membuat orang menjadi lebih terbuka terhadap kelemahan dan kekurangan sesama mereka yang tekun berdoa dengan baik memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap sesamanya karena ia akan terbantu dalam doa-doanya untuk menyadari juga kelemahan-kelemahan nya sendiri
7. Meningkatkan daya cinta kasih kepada diri sendiri dan orang lain ketekunan dalam doa membuat seseorang memiliki relasi intim dengan Tuhan Allah. Allah sendiri adalah kasih maka mereka yang tekun berdoa niscaya memiliki daya cinta kasih yang lebih kepada diri sendiri dan sesamanya. Mereka yang terjerumus dalam narkoba pastilah orang yang tidak tekun berdoa karena tidak mampu mencintai dan mengasihi diri sendiri
8. Meningkatkan kemampuan dalam mengembangkan diri. Seseorang yang dalam hidupnya tekun untuk berdoa akan memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih maksimal, karena ia akan semakin memahami talenta-talenta yang Tuhan berikan dan bagaimana seharusnya dikembangkan
9. Menjadikan yang tidak baik menjadi baik setiap orang yang tekun berdoa akan memiliki kemampuan untuk merubah yang tidak baik menjadi baik, dibandingkan mereka yang malas berdoa justru menjadikan yang baik menjadi buruk
10. Layak menerima keselamatan. Dengan berdoa tekun seseorang mendapatkan kesempatan untuk semakin kuat dan bahkan karena relasinya yang baik dengan Allah selagi di dunia ini ia juga akan mengalami yang sama kelak di keabadian

sumber; http://www.kisahinspiratif.com/10-alasan-baik-mengapa-kita-perlu-berdoa-dengan-tekun.html#comment-1119

Di saat Daku Tua....

Di saat daku tua, bukan lagi diriku yang dulu.
Maklumilah diriku, bersabarlah dalam menghadapiku 

Di saat daku menumpahkan kuah sayuran di bajuku,
Di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikatkan tali sepatu,

Ingatlah saat-saat bagaimana daku mengajarimu,
Membimbingmu untuk melakukannya.
 

Di saat daku dengan pikunnya mengulang terus menerus ucapan yang membosankanmu,
Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku, 
Di masa kecilmu, daku harus mengulang dan mengulang terus 
sebuah cerita yang telah saya ceritakan ribuan kali,
hingga dirimu terbuai dalam mimpi.
 

Di saat daku membutuhkanmu untuk memandikanku,
Janganlah menyalahkanku, Ingatkah di masa kecilmu,
Bagaimana dulu dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi?
 

Di saat daku kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern,
Janganlah menertawaiku.
Renungkanlah bagaimana daku dengan sabarnya menjawab
setiap "mengapa" yang engkau ajukan saat itu.
 

Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan,
Ulurkanlah tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku.
Bagaikan di masa kecilmu daku menuntunmu melangkahkan kaki 
untuk belajar berjalan.
 

Di saat daku melupakan topik pembicaraan kita,
Berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya.
Sebenarnya, topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku,
Asalkan engkau berada di sisiku untuk mendengarkanku,
daku telah bahagia.
 

Di saat engkau melihat diriku menua,
Janganlah bersedih.
Maklumilah diriku, dukunglah daku,
bagaikan daku terhadapmu
di saat engkau mulai belajar tentang kehidupan.
 



Dulu daku menuntunmu menapaki jalan kehidupan ini,
kini temanilah daku hingga akhir jalan hidupku.
Berilah daku cinta kasih dan kesabaranmu,
Daku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur.
Di dalam senyumku ini, tertanam kasihku yang tak terhingga padamu.



- terinspirasi dari catatan my best of the best friend...-

Minggu, 26 Juni 2011

Surat dari Ibu yang Terkoyak Hatinya.........

jika anda seorang anak maka bacalah dan renungkan .........??

Wahai Anakku!
Inilah surat dari ibumu yang lemah, yang ditulis dengan penuh rasa malu setelah lama mengalami keraguan dan kebimbangan. Ibu pegang penanya berkali-kali lantas terhenti, dan ibu letakkan lagi pena itu karena air mata berlinang berkali-kali yang disusul dengan rintihan hati.
Wahai Anakku!
Sesudah perjalanan waktu yang panjang, ibu rasa engkau sudah dewasa dan memiliki akal sempurna maupun jiwa yang matang. Sedangkan ibu punya hak atas dirimu, maka bacalah sepucuk surat ini; dan jika tidak berkenan robek-robeklah sebagaimana engkau telah merobek-robek hati ibu.

Wahai Anakku!
Dua puluh lima tahun yang lalu adalah hari yang begitu membahagiakan hidup ibu. Ketika dokter memberitahu ibu, ibu sedang mengandung. Semua ibu tentu mengetahui makna ungkapan itu, yakni terhimpunnya kebahagiaan dan kegembiraan, serta awal perjuangan seiring dengan adanya berbagai perubahan fisik maupun psikis. Sesudah berita gembira itu ibu peroleh, dengan senang hati, ibu mengandungmu selama sembilan bulan.

Ibu berdiri, tidur, makan dan bernafas dengan susah payah. Namun itu semua tidak menyebabkan surutnya cinta ibu padamu dan kebahagiaan ibu menyambut kehadiranmu. Bahkan rasa cinta dan kerinduan ibu padamu tumbuh subur dan berkembang hari demi hari. Ibu mengandungmu dalam kondisi yang lemah dan bertambah lemah, payah dan bertambah payah. Ibu sangat bahagia meski bobotmu semakin berat, padahal kehamilan itu sangat berat bagi ibu.

Itulah perjuangan yang akan disusul dengan cahaya fajar kebahagiaan setelah berlalunya malam panjang, yang membuat ibu tidak bisa tidur dan kelopak mata ibu tak bisa terpejam. Ibu merasakan derita yang sangat, rasa takut dan cemas yang tak bisa dilukiskan dengan pena dan tak sanggup diungkapkan dengan retorika lisan. Ibu telah berkali-kali melihat kematian dengan mata kepala ibu sendiri, sehingga akhirnya engkau lahir ke dunia ini. Air mata tangismu yang bercampur dengan air mata kegembiraan ibu telah menghapus seluruh derita dan luka yang ibu rasakan.

Wahai Anakku!
Telah berlalu tahun demi tahun dari usiamu, dan dirimu selalu ibu bawa dalam hati ibu. Ibu memandikanmu dengan kedua tangan ibu. Pangkuan ibu sebagai bantalmu. Dada ibu sebagai makananmu. Ibu berjaga semalaman agar engkau bisa tidur. Ibu susuri siang hari dengan keletihan demi kebahagiaanmu. Dambaan ibu tiap hari adalah melihatmu tersenyum. Dan idaman ibu setiap saat adalah engkau meminta sesuatu yang ibu sanggup lakukan untukmu. Itulah puncak kebahagiaan ibu.

Itulah hari-hari dan malam yang ibu lalui sebagai pelayan yang tak pernah menyia-nyiakanmu sedikit pun. Sebagai wanita yang menyusuimu tiada henti, dan sebagai pekerja yang tak pernah putus hingga engkau tumbuh dan menjadi seorang remaja. Dan mulailah nampak tanda-tanda kedewasaanmu. Ketika itu pula, ibu kesana kemari mencarikan calon istri yang kau inginkan. Lalu tibalah saat pernikahanmu. Denyut jantung ibu terasa berhenti dan air mata ibu deras bercucuran karena gembira melihat hidup barumu dan karena sedih berpisah denganmu.

Saat-saat yang begitu berat telah lewat. Namun engkau seolah bukan lagi anak ibu, seperti yang ibu kenal selama ini. Sungguh engkau telah mengabaikan diri ibu dan tidak mempedulikan hak-hak ibu. Hari-hari berlalu dan ibu tidak lagi melihatmu dan tidak pula mendengar suaramu. Engkau masa bodoh kepada ibu yang selama ini menjadi pelayan yang mengurusimu.

Wahai Anakku!
Ibu tidak meminta apa pun selain posisikanlah diri ibu ini seperti kawan-kawanmu yang terdekat denganmu. Jadikanlah ibu sebagai salah satu terminal hidupmu sehari-hari, sehingga ibu dapat melihatmu meskipun sekejap.

Wahai Anakku!
Punggung ibu telah bongkok. Anggota tubuh ibu telah gemetaran. Beragam penyakit telah membuat ibu semakin ringkih. Rasa sakit senantiasa mendera ibu. Ibu sudah susah untuk berdiri maupun duduk, namun hati ibu masih sayang padamu.

Andaikan ada seseorang yang memuliakanmu sehari, tentu engkau akan memuji kebaikannya dan keelokan budinya. Padahal, ibumu ini telah benar-benar berbuat baik kepadamu, namun engkau tak melihatnya dan tak mau membalas kebaikannya. Ibumu telah menjadi pelayanmu dan telah mengurusmu bertahun-tahun. Lantas manakah balas budi dan hak ibu yang harus engkau tunaikan? Sekeras itukah hatimu? Apakah hari-hari sibukmu telah menyita seluruh waktumu?

Wahai Anakku!
Ibu merasakan kebahagiaan dan kegembiraan bertambah saat melihatmu hidup bahagia, karena engkau adalah buah hati ibu. Apa salah ibu sehingga engkau memusuhi ibu, tak suka melihat ibu, dan engkau merasa berat untuk mengunjungi ibu? Apakah ibu pernah berbuat salah padamu atau pelayanan ibu kurang memuaskanmu?

Jadikanlah ibu seperti pelayan-pelayanmu yang engkau beri upah. Curahkanlah setitik kasih sayangmu. Renungkanlah jasa ibu dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah amat menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Wahai Anakku!
Ibu sangat berharap bisa bersua denganmu. Ibu tak ingin apapun selain itu. Biarkanlah ibu melihat muramnya wajahmu dan episode-episode kemarahanmu.

Wahai Anakku!
Sisakan peluang di hatimu untuk berlembut-lembut dengan seorang wanita renta, yang diliputi kerinduan dan dirundung kesedihan ini. Yang menjadikan kedukaan sebagai makanannya dan kesedihan sebagai selimutnya. Engkau cucurkan air matanya. Engkau membuat sedih hatinya dan engkau memutuskan hubungan dengannya.

Ibu tidak mengeluhkan kepedihan dan kesedihan ibu kehadirat-Nya, karena jika ibu adukan perkara ini ke atas awan dan ke pintu gerbang langit sana, ibu khawatir hukuman akan menimpamu, dan musibah akan terjadi dalam rumah tanggamu, lantaran kedurhakaanmu. Karena ibu teringat peringatan junjungan kita Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
"Maukah kalian aku sampaikan tentang dosa yang terbesar?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengucapkannya tiga kali. Para sahabat menjawab, "Ya, wahai Rasulullah". Beliau bersabda, "Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua." (HR. Bukhari).
"Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya." (HR. Ahmad).

"Tiga golongan orang yang tidak akan dilihat (dengan pandangan rahmat) oleh Allah pada hari kiamat; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, orang yang suka minum minuman keras, orang yang suka mengungkit pemberiannya." (HR. Nasaai dan dinyatakan shahih oleh Albani).

"Terlaknat orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya." (HR. Hakim dan Thobrani serta dinyatakan shahih oleh Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib, 2/334).

Tidak, ibu tidak menginginkan itu. Engkau tetap menjadi buah hati dan hiasan dunia ibu.

Camkanlah wahai Anakku!
Ketuaan mulai nampak dalam belahan rambutmu. Tahun demi tahun akan berlalu, dan engkau akan menjadi tua renta, sedangkan setiap perbuatan pasti akan dibalas setimpal. Engkau akan menulis surat kepada setiap anak-anakmu dengan cucuran air mata, sebagaimana yang ibu tulis untukmu. Dan di sisi Allah, akan bertemu orang-orang yang berselisih, hai Anakku. Maka bertakwalah engkau kepada Allah terhadap ibumu. Usaplah air matanya dan hiburlah agar kesedihannya sirna.

Robek-robeklah surat ini setelah engkau membacanya. Namun ketahuilah, siapa saja yang beramal shaleh, maka keshalehan itu buat dirinya sendiri, dan siapa yang berbuat jahat, maka balasan buruk bakal menimpanya.

"Barangsiapa mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa berbuat jahat, maka (dosanya) menjadi tanggungannya sendiri. Dan Rabbmu sekali-kali tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya." (QS. Fushshilat: 46).

Bahan rujukan: Qashash Mu'atstsirah fi Birr wa 'Uquqil Walidain (terjemahan) karya Fathurrahman Muhammad Jamil, dan lain-lain. (Al Fikrah)


KISAH TELADAN KEPADA ORANG TUA
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan kekufuran. Dalam shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia bercerita.
Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku mengadu.
“Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam, namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah”. Rasulullah bersabda : “Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah”. Aku keluar dengan hati riang karena do’a Nabi. Ketika aku pulang dan mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan berkata : “Tetap di situ Abu Hurairah”. Aku mendengar kucuran air. Ibu-ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata : “Wahai, Abu Hurairah ! Asyhadu an Laa Ilaaha Illa Allah wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu wa Rasuluhu”. Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis gembira. Aku berkata, “Wahai, Rasulullah, Bergembiralah. Allah telah mengabulkan do’amu dan menunjuki ibuku”. Maka beliau memuji Allah dan menyanjungNya serta berkomentar baik” [Hadits Riwayat Muslim]
Ibnu Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia bertanya : “Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku) wahai Ibnu Umar?” Beliau menjawab : “Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitan (saat persalinan)”.
Zainal Abidin, adalah seorang yang terkenal baktinya kepada ibu. Orang-orang keheranan kepadanya (dan berkata) : “Engkau adalah orang yang paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan berdua dengannya dalam satu talam”? Ia menjawab,”Aku khawatir tanganku mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya”.
Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al-Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih surga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.
Dalam shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata : Bila rombongan dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka : “Apakah Uwais bin Amir bersama kalian ?” sampai akhirnya menemui Uwais. Umar bertanya, “Engkau Uwais bin Amir?” Ia menjawa,”Benar”. Umar bertanya, “Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?” Ia menjawab, “Benar”. Umar bertanya, “Engkau punya ibu?”. Ia menjawab, “Benar”. Umar (pun) mulai bercerita, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Akan datang pada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia beristighfar untukmu jika bertemu”.
(Umar berkata), “Tolong mintakan ampun (kepada Allah) untukku”. Maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar bertanya, “Kemana engkau akan pergi?”. Ia menjawab, “Kufah”. Umar berkata, “Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke gubernurnya (Kufah)?” Ia menjawab, “Aku lebih suka bersama orang yang tidak dikenal”.
Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin Aun pernah memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak sebagai tanda penyesalannya.


KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret bapaknya sampai kejalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang bapak berkata : “Cukup… Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu depan”. Sang anak menimpali : “Itulah balasanmu. Adapun tembahan ini sebagai sedekh dariku!”.
Kisah pedih lainnya, seorang Ibu yang mengisahkan kesedihannya : “Suatu hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku kesuatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagu menemuiku”
Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju surga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang anak menuju lembah kehinaan, neraka.
Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya menyakitkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Akan terhina, akan terhina dan akan terhina!” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullahj, siapakah gerangan ?” Beliau bersabda, “Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka” [Hadits Riwayat Muslim]