Jumat, 29 Juli 2011

Yang Sangat Cantik..



Kalau di Bollywood mungkin kata mereka, Aishwarya Rai yang tercantik, atau di Hollywood, Megan FoX adalah cantik pada pandangan mereka dan mungkin juga di Malaysia, Fasha Sandha yang tercantik.


Siapa sepertinya yang bisa memberi definisi dan ciri-ciri tepat tentang apa yang dikatakan sebagai 'cantik'?
Cantik adalah sesuatu yang sangat subjektif. Setiap orang mempunyai definisi kecantikan masing-masing.

Mungkin bagi saya, cantik adalah begitu dan begini, tapi bagi kamu, lain pula.
Kadang kala, cantik juga didefinisikan mengikuti tempat, kaum dan budaya.

Kalau di barat sekarang, the thinner the better, tapi berbeda pula di Mauritania, Africa, the bigger the better.

Perlukah jadi cantik?
Di Mexico, kaum wanita menghabiskan separuh dari gaji mereka untuk kecantikan seperti ke salon, malah ada pula yang memakai pembayaran secara ansuran untuk pembedahan plastik.

Bayangkan betapa ingin  wanita-wanita itui mau kelihatan cantik.
Betapa pentingnya menjadi cantik pada seorang wanita itu.

Macam-macam sanggup dikorbankan, Uang, masa, Sakit yang perlu ditanggung demi cantik,
bahkan, hukum agama pun sanggup dilanggar demi cantik.

Tidak tahukah mereka kalau perbuatan mereka dilarang oleh agama, demi terlihat cantik mereka melakukan Plastic surgery, Botox, liposuction, gastric bypass dan banyak lagi yang lain demi makin cantik.

Allah suka akan kecantikan, tetapi bukan lah dengan mengubah ciptaanNya.
Tambahan lagi, mereka yang ekstrem mau kelihatan cantik ini, bukanlah mau kelihatan cantik di mata Allah, tapi di mata manusia. Semuanya dilakukan agar kelihatan cantik pada manusia dan agar mendapat tempat di hati manusia.

Sebenarnya cantik bukan sekadar di wajah, tapi cantik itu dari akhlak dan keimanannya kepada sang Pencipta.
Cantik secara fisik didunia akan pudar walau coba dipertahankan, tapi akhlak itu hiasan yang kekal pada diri seorang wanita.

Wanita yang cantik akhlaknya, maka cantiklah luarannya.
Tiada guna mempunyai wajah seindah bidadari karena satu hari nanti, kita cuma akan menjadi tengkorak yang menakutkan.

Bukannya tidak perlu menjadi cantik tetapi, biarlah cantik itu karena Allah, dan Janganlah sampai melanggar larangan agama demi kelihatan cantik.

Perbaikilah akhlak dirimu, insya allah kamu akan kelihatan cantik pada pandangan Allah dan pandangan manusia.
Bersyukurlah dan berpuas hati lah dengan karunia Allah kepada kita, dan gunakan ia sebaik-baiknya hanya keranaNya.

Tiada yang lebih indah pada orang tua selain anak-anak yang soleh solehah, tiada yang lebih bahagia pada seorang suami selain seorang isteri yang solehah dan tiada yang lebih bernilai pada Allah selain hambaNya yang taat menjalankan perintahnya..

Permintaan Jiwa

Subuh masih jauh. Kokok ayam pun belum terdengar, namun Fikri sudah menajamkan matanya, di atas sajadah ia bersimpuh. Tangannya menengadah jauh ke langit, seperti meminta sesuatu yang sangat ia butuhkan. Pandangannya nanar oleh karena matanya berkaca-kaca. Mulutnya terus mengucap doa kepada Tuhannya. Berharap sebuah petunjuk dari istikharah yang senantiasa ia lakukan beberapa hari terakhir ini.   Ya Allah, sesungguhnya Engkau Mengetahui apa yang tidak kuketahui… sungguh hati ini telah pasrah pada ketentuan-Mu dan kuyakin apa yang terjadi padaku adalah atas kehendak-Mu. Atas apa yang saat ini kualami, tiada yang dapat kulakukan selain bertanya kepada-Mu bagaimana baiknya keputusan yang kuambil. Ya Allah, jika memang kami berjodoh maka segerakanlah kami. Jika bukan, maka selamatkanlah kami dari fitnah.   Usai mengucap doa, Fikri mengusap wajahnya dengan dua telapak tangannya. Hatinya tak dapat menentukan apakah ia menerima atau tidak permintaan seorang akhwat yang kini lembaran biodatanya masih tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Ia masih mengingat betul wajah manis dalam foto yang disertakan dalam lembaran itu. Sepekan lalu ia didatangi dua orang akhwat di teras masjid. Dengan begitu sopan, dua akhwat tadi menyampaikan misinya, yakni pesan dari temannya untuk minta dinikahi oleh Fikri. Lugas, namun suatu keanehan bagi lelaki yang baru menginjak usia 23 itu.   “Sahabat kami, sudah lama menyimpan niatan ini. Baru kali ini sempat tersampaikan, itu pun setelah mendapat banyak masukan dari orang-orang terdekatnya. Insya Allah, sahabat kami ini orangnya solehah. Biodata lengkapnya bisa dilihat di sini.” Ujar salah seorang dari akhwat itu seraya menyerahkan amplop coklat seperti amplop untuk melamar kerja. “Jika ada yang belum jelas, silakan langsung hubungi beliau. Ada nomor kontaknya di situ.” Sambung yang satunya sambil menunjuk amplop tersebut.   Fikri tak dapat berkata-kata, berfikir pun tak mampu. Ini baru pertama kalinya ada gadis yang minta dinikahi. Terbayang kisah cinta Rasulullah dengan Ibunda Khadijah, yang diawali dengan permintaan Ibunda untuk dinikahi Rasulullah. Bagaimanapun, ini pengalaman yang membuat tulang lututnya serasa lepas. Ia begitu lemas…   Ketika dua akhwat itu pergi dengan salam yang tegas namun lembut, Fikri masih tak dapat memijak bumi. Ia berada di luar kesadarannya, dan ingin segera menyentuh air wudhu untuk menenangkan rasa bingungnya. Tangannya basah karena berkeringat dingin, sehingga sebagian amplop itu turut basah pula.   Sesampainya di asrama pesantren, barulah ia berani membuka amplop itu setelah selesai sholat Isya. Hal itu ia sesali karena akibatnya adalah ia tak dapat tidur, pikirannya jadi terbayang sosok manis dalam foto itu, ditambah informasi dalam biodata tersebut yang aduhai menunjukkan bahwa gadis yang minta dinikahi itu bukanlah akhwat sembarangan. Untuk menerimanya, Fikri malu, apakah ia pantas menjadi pendamping hidup akhwat itu? Namun untuk menolaknya pun, ia tak bisa tergesa-gesa.   Salah satu hal yang membuatnya ragu dan banyak menimbang adalah kondisi keluarganya di Semarang. Masih ada dua orang adiknya yang masih sekolah, sedangkan orangtuanya bukan termasuk keluarga berada dan mengharap-harap Fikri sebagai anak ketiganya itu sukses. Bisa kuliah sampai ke luar negeri, bisa bekerja enak, hidup mapan dan tidak kesusahan seperti orangtuanya. Terbukti doa mereka mampu membuat Fikri masih bisa belajar sampai S1 dengan bantuan beasiswa.   Hal lain yang juga amat berat baginya adalah, ia sedang mendaftar untuk mendapat beasiswa ke Madinah. Ia ingin bisa belajar agama di sana, agar suasananya bisa terasa dekat dengan Rasulullah. Tak terhitung banyaknya doa yang ia panjatkan untuk mendapat beasiswa itu.   Gundahnya terasa menggunung saat membaca pesan dalam lembar bioadata akhwat bernama Sabila itu. Ana tunggu keputusan Akhy paling lama dua pekan setelah Akhy menerima biodata ana. Jazakallahu khairan. Sabila. Nama akhwat pemberani itu. Di kampus, termasuk mahasiswa yang aktif di kegiatan kemuslimahan, namun Fikri tak pernah melihatnya. Orangtuanya berada di Magelang dan memiliki sebuah pesantren yang cukup terkenal. Dia bungsu dari sepuluh bersaudara. Kuliah di Jogja mengambil jurusan kedokteran umum. Cita-citanya adalah membuat sebuah klinik gratis di desa terpencil entah di mana, atau pergi ke Palestina atau daerah konflik lainnya untuk menyumbangkan keahliannya dalam hal medis. Ia pun amat menyukai dunia jurnalistik. Satu hal lagi yang membuat Fikri semakin berdebar ketika membacanya, adalah Sabila sudah mengenal Fikri sejak pertama kali masuk kuliah. Bagaimana bisa?   Itu yang ingin Fikri ketahui. Maka dengan keberanian yang ia kumpulkan dari banyak doanya berhari-hari, ia mantapkan diri untuk bertanya melalui telepon.   “Ukhti….Sabila?” “Na’am, siapa ini?” “Ukhti, ini…Fikri…Hm…” tak dapat ia menyembunyikan getar-getar kegugupan dalam hatinya. Mendengar suara tegas Sabila justru membuat tangannya lemas seakan ponsel yang dipegangnya hendak terlepas. “Oh, iya Akhi..ada apa?”   Deg. Ada apa katanya? Seakan tak ada sesuatu yang pernah terjadi pada mereka. Sempat pula timbul persangkaan, mungkin saja dua orang akhwat yang datang tempo hari itu hanya mengerjainya? Tapi akhwat seperti itu apakah begitu usilnya?   “Halo…?” suara imut namun tegas itu menyadarkan Fikri. “Ermh…begini Ukhti…” Fikri hampir lupa pada apa yang akan ia katakan. Ini baru pertama kalinya ia berhubungan dengan akhwat untuk maksud yang sifatnya pribadi, yakni perjalanan menuju pernikahan. “Biodata Ukhti….” Kalimatnya menggantung. “Ya, ada yang ingin ditanyakan mengenai bioadata ana?” suara itu masih juga imut dan tegas, tapi cukup membuat Fikri lega. Ia menanyakannya, artinya memang dia sudah tahu tentang hal itu dan dua temannya waktu itu tidak sedang mengerjainya. “Ada Ukhti. Ada. Apakah…Ukhti sendiri yang membuatnya?” “Tentu Akhi. Ana sendiri yang menulisnya.”   Gugup lagi. “Anu…anu lho Mbak’e, eh Ukhti…duh piye tho iki?” diam sejenak. Dalam hati terus mengucap istighfar. “Afwan Mbak, apa Mbak Sabila serius? Masalahe kok Mbak milih kulo? Terus gimana caranya Anti bisa kenal saya?” Di seberang telepon, sebenarnya Sabila tersenyum. Ia geli mendengar kata-kata Fikri yang bahasanya campur aduk. Kadang memanggil Mbak, Ukhti, Anti. Kadang pakai bahasa Indonesia yang baku, kadang justru pakai bahasa Jawa. Tampak benar kegugupan dalam nada bicaranya.   “Begini Akhi. Ana sering melihat Antum mengisi kajian di kampus. Baik kajian bahasa Arab, atau kajian keislaman lainnya. Menurut Ana, tak semua mahasiswa bisa begitu. Kemudian Ana mencari informasi tentang Antum, Insya Allah shohih, dari guru ngaji Antum. Dari beliau, Ana mengetahui kepribadian Antum, insya Allah sholih.” “Maksud Mbak Ukhti…guru ngaji ana…Mas Bahri?” “Beliau mahram ana. Saudara sepersusuan.”   Terlalu tak dapat mencerna dengan sempurna, Fikri langsung mematikan ponselnya tanpa mengucap salam. Ia amat gugup sehingga ia baru sadar ketika ia menempelkan lagi ponsel di telinganya lalu berbicara lagi.   “Mbak Ukhti….” Tak ada jawaban, Fikri malu sendiri karena ponselnya sudah tak lagi tersambung dengan Sabila. Ia cengengesan sendiri. Teringat sebuah pertanyaan yang harus ia temukan jawabnya. Ia kirim pertanyaan itu lewat pesan pendek. Ukhti serius dengan ana? Sedangkan ana bukan dari keluarga terpandang, ana hanya anak perantauan yang miskin bahkan sekolah pun dari beasiswa. Apa Ukhti siap menjalani hidup dengan getir?   Beberapa menit menanti jawaban, akhirnya ponselnya berbunyi. Sebuah pesan pendek tertera dari sebuah nomor baru. Rizki itu minallah Akhi. Bukan karena menikah atau tidak menikah dengan Akhi maka saya kaya atau miskin. Tapi Allah yang telah mengatur rizki kita masing-masing, insya Allah takkan tertukar. Nyess…Lega hatinya, namun semakin membuatnya berat antara menerima atau menolaknya. Madinah telah lebih dulu memanggilnya. ***------*****   Istikharah ke sekiam kalinya, nyaris membuat hatinya condong kepada Sabila. Ia sering melihatnya dalam mimpi, dalam balutan busana pengantin dengan senyum merekah. Untuk memantapkan hatinya, ia pun sudah berkonsultasi dengan Mas Bahri, sang guru spiritualnya yang secara tak langsung telah menjadi perantaranya.   “Sabila kalau sudah punya keinginan, akan sulit untuk mundur lagi. Sejak mendapat info tentang antum, Sa jadi termotivasi untuk menikah dengan antum. Makanya ana usulkan agar dia berusaha sendiri, yakni dengan meminta untuk dinikahi.” “Lalu, dia langsung menerima usul itu?” “Tidak. Dia juga perempuan biasa yang punya rasa malu. Tapi ana ceritakan juga bahwa antum itu orangnya susah kalau untuk memulai, sebab sudah banyak calon yang ditawarkan tapi tampaknya kurang ngena di hati antum. Gak ngefek. Makanya, Sabila harus mengambil inisiatif, memberikan sengatan listrik biar antum melek.”   Kebingungan Fikri hampir hilang, ia berniat untuk menerima tawaran pernikahan itu namun sebuah kabar gembira menghalanginya untuk mengungkapkan niatnya kepada Sabila. Ia resmi mendapat beasiswa ke Madinah. Impiannya sejak masih Aliyah.   Istikharah penentuan, yang mengantarnya pada pecahnya tangis di malam sunyi. Hatinya merasa condong pada Sabila, tapi Madinah jauh lebih menggigilkan hatinya. Pernikahan memang salah satu impiannya, tapi bisa mencium wangi tanah Daulah Islamiyah pertama lebih menarik minatnya. Sabila memang sholehah, tapi keinginan kuatnya untuk belajar di Madinah melebihi keinginannya untuk menggenapkan separuh diennya.   “Aku bingung Mas harus bagaimana…” Mas Bahri menepuk bahu Fikri, “Sudah istikharah?” “Tak terhitung Mas. Sebenarnya ana sudah memutuskan untuk mengambil beasiswa itu, tapi ana gak enak sama Sabila…” Mas Bahri tersenyum, “Katakan saja, Sabila orang yang kuat.” ***------*********************​***-------*********   “Maaf…ana…sebenarnya…punya keinginan yang sama dengan Mbak Ukhti Sabila….tapi…ana mendapat beasiswa ke Madinah Mbak Ukhti Sabila…Afwan… Mungkin ana bukan jodoh anti… Ana akan mengenang perkenalan ini, dan sebenarnya ana ingin kita bisa menikah setelah ana selesai kuliah nanti. Tapi ana tahu itu gak mungkin, sebab Mbak Ukhti Sabila kan akhwat yang banyak dicari…jadi kalau Mbak Ukhti Sabila sudah ada yang melamar, baiknya diterima saja. Khawatir kalau menunggu ana, kelamaan…”   Sabila masih mendengar kegugupan Fikri dalam nada bicaranya, sama seperti biasa. Namun yang lebih ia dengar saat ini adalah justru degup jantungnya sendiri. Kerongkongannya mendadak kering, sulit baginya mengucapkan apapun.   “Mbak Ukhti Sabila….?” “Berapa lama?” “Nggak tahu Mbak, mungkin tiga tahun, empat tahun atau lebih, atau bahkan nggak pulang lagi karena ana pengen juga langsung mencari jalan menuju Palestina kalau bisa….” “Sudahlah. Begini saja, antum silakan berangkat. Doa ana menyertai antum. Berat memang bagi ana, tapi ana sangat mendukung keputusan antum. Bila ana berada di posisi antum, ana juga akan mengambil beasiswa itu. Karena bagi ana, ilmu itu sangat penting Akhi… Maka, jangan risaukan ana, tenanglah. Ana juga gak akan menjanjikan apapun untuk setia atau tidak, karena ana gak tahu sampai di mana jatah hidup ana. Ana juga gak tahu siapa jodoh ana sebenarnya. Tapi satu hal yang perlu antum tahu, kalau sudah pulang ke Indonesia, harap hubungi ana ya? Itu saja yang ana minta. Bisa kan?”   Kini kerongkongan Fikri yang kering. Berat namun harus ia ucapkan sebuah kata janji, “Insya Allah Mbak Ukhti Sabila….” “Kalau begitu, ma’akum najah! Assalamu’alaikum…” “Wa’alaikum salam….”   Kembali lemas, Fikri hanya terdiam menatap lambaian dedaunan di balik jendela kamarnya. Aroma Madinah telah memanggil-manggilnya. Besok ia akan pulang ke Semarang untuk pamit pada keluarganya. Tak lama lagi, ia akan terbang meninggalkan Indonesia, kampung kelahirannya, juga meninggalkan jantung hatinya yang tak menjanjikan kesetiaan namun meminta satu kepastian bahwa Fikri akan menghubunginya sekembalinya dari Madinah. Apakah itu kata lain dari: “cepatlah pulang dan segera cari aku, karena aku akan selalu menunggumu entah kapan kau datang….”   Fikri tak dapat memastikan benar atau tidaknya khayalannya itu. Ia tutup jendela ketika langit mulai jingga dan burung-burung terbang kembali ke sarang. Sebentar lagi Maghrib tiba!   3 April 2010 “Mencintaimu tanpa batas waktu….”  

Kamis, 28 Juli 2011

Berawal Dari Segelas Air Mengubahnya Menjadi Menteri

Di sebuah perusahaan pertambangan minyak di Arab Saudi, di akhir tahun40-an. Seorang pegawai rendahan, remaja lokal asli Saudi, kehausan dan bergegas mencari air untuk menyiram tenggorokannya kering. Ia begitu gembira ketika melihat air dingin yang tampak didepannya dan bersegera mengisi air dingin ke dalam gelas.


Belum sempat ia minum, tangannya terhenti oleh sebuah hardikan: “Hei, kamu tidak boleh minum air ini. Kamu cuma pekerja rendahan. Air ini hanya khusus untuk insinyur” Suara itu berasal dari mulut seorangi insinyur Amerika yang bekerja di perusahaan tersebut. Remaja itu akhirnya hanya terdiam menahan haus.

Ia tahu ia hanya anak miskin lulusan sekolah dasar. Kalaupun ada pendidikan yang dibanggakan, ia lulusan lembaga Tahfidz Quran, tapi keahlian itu tidak ada harganya di perusahaan minyak yang saat itu masih dikendalikan oleh manajemen Amerika. 
Hardikan itu selalu terngiang di kepalanya. Ia lalu bertanya-tanya: Kenapa ini terjadi padaku? Kenapa segelas air saja dilarang untuk ku? Apakah karena aku pekerja rendahan, sedangkan mereka insinyur ?

Apakah kalau aku jadi insinyur aku bisa minum? Apakah aku bisa jadi insinyur seperti mereka? Pertanyaan ini selalu tengiang-ngiang dalam dirinya. Kejadian ini akhirnya menjadi momentum baginya untuk membangkitkan ”DENDAM POSITIF”
Akhirnya muncul komitmen dalam dirinya. Remaja miskin itu lalu bekerja keras siang hari dan melanjutkan sekolah malam hari. Hampir setiap hari ia kurang tidur untuk mengejar ketertinggalannya. Tidak jarang olok-olok dari teman pun diterimanya. Buah kerja kerasnya menggapai hasil. Ia akhirnya bisa lulus SMA.

Kerja kerasnya membuat perusahaan memberi kesempatan padanya untuk mendalami ilmu.
Ia dikirim ke Amerika mengambil kuliah S1 bidang teknik dan master bidang geologi.
Pemuda ini lulus dengan hasil memuaskan. Selanjutnya ia pulang kenegerinya dan bekerja sebagai insinyur.

Kini ia sudah menaklukkan dendamnya, kembali sebagai insinyur dan bisa minum air yang dulu dilarang baginya. Apakah sampai di situ saja?. Tidak, karirnya melesat terus. Ia sudah terlatih bekerja keras dan mengejar ketinggalan, dalam pekerjaan pun karirnya menyusul yang lain.

Karirnya melonjak dari kepala bagian, kepala cabang, manajer umum sampai akhirnya ia menjabat sebagai wakil direktur, sebuah jabatan tertinggi yang bisa dicapai oleh orang lokal saat itu.

Ada kejadian menarik ketika ia menjabat wakil direktur. Insinyur Amerika yang dulu pernah mengusirnya, kini justru jadi bawahannya. Suatu hari insinyur bule ini datang menghadap karena ingin minta izin libur dan berkata; “Aku ingin mengajukan izin liburan. Aku berharap Anda tidak mengaitkan kejadian air di masa lalu dengan pekerjaan resmi ini. Aku berharap Anda tidak membalas dendam, atas kekasaran dan keburukan perilakuku di masa lalu”
Apa jawab sang wakil direktur mantan pekerja rendahan ini: “Aku ingin berterimakasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam karena kau melarang aku minum saat itu. Ya dulu aku benci padamu. Tapi, setelah izin Allah, kamu lah sebab kesuksesanku hingga aku meraih sukses ini. “

Kini dendam positif lainnya sudah tertaklukkan. Lalu apakah ceritanya sampai di sini? Tidak. Akhirnya mantan pegawai rendahan ini menempati jabatan tertinggi di perusahaan tersebut. Ia menjadi Presiden Direktur pertama yang berasal dari bangsa Arab.

Tahukan Anda apa perusahaan yang dipimpinnya? Perusahaan itu adalah Aramco (Arabian American Oil Company) perusahaan minyak terbesar di dunia. Ditangannya perusahaan ini semakin membesar dan kepemilikan Arab Saudi semakin dominan. Kini perusahaaan ini menghasilkan 3.4 juta barrels (540,000,000 m3) dan mengendalikan lebih dari 100 ladang migas di Saudi Arabia dengan total cadangan 264 miliar barrels (4.20×1010 m3) minyak dan 253 triliun cadangan gas.

Atas prestasinya Ia ditunjuk Raja Arab Saudi untuk menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Mineral yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap dunia.

Tahukah kisah siapa ini? Ini adalah kisah Ali bin Ibrahim Al-Naimi yang sejak tahun 1995 sampai saat ini (2011) menjabat Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi.

Terbayangkah, hanya dengan mengembangkan hinaan menjadi dendam positif, isu air segelas di masa lalu membentuknya menjadi salah seorang penguasa minyak yang paling berpengaruh di seluruh dunia.
Itulah kekuatan ”DENDAM POSITIF”  Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain berperilaku terhadap kita. Kita tidak pernah tahu bagaimana keadaan akan menimpa kita. Tapi kita sepenuhnya punya kendali bagaimana menyikapinya.
Apakah ingin hancur karenanya? Atau bangkit dengan semangat “Dendam Positif.”

Sumber : http://www.iswandibanna.com/2011/02/berawal-dari-segelas-air-mengubahnya.html

Posting by AH

Referensi Lainnya : http://forumbisnisdanpromosi.blogspot.com/2011/07/coca-cola.html

Senin, 04 Juli 2011

Maka Nikmatilah Karena Ini Akan Berlalu

Saat di depanmu terhidang nasi sayur tahu tempe, mengapa mesti sibuk berandai-andai dapat makan ikan, daging atau ayam ala resto? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang ada tanpa berkesah, pastilah rasanya tak jauh beda. Karena enak atau tidaknya makanan lebih tergantung kepada rasa lapar dan mau tidaknya kita menerima apa yang ada. Maka nikmatilah, karena jika engkau terus mengharap makanan yang lebih enak, makanan yang ada di depanmu akan basi, padahal belum tentu besok engkau akan mendapatkan yang lebih baik daripada hari ini.

Saat engkau menemui udara pagi ini cerah, langit hari ini biru indah, mengapa sibuk mencemaskan hujan yang tak kunjung datang? Padahal kalau saja kau nikmati adanya tanpa kesah, pastilah kau dapat mengerjakan begitu banyak kegiatan dengan penuh kegembiraan. Maka nikmatilah, jangan malah resah memikirkan hujan yang tak kunjung tumpah. Karena jika kau tak menikmatinya, maka saat tiba masanya hujan menggenangi tanahmu, kau pun kan kembali resah memikirkan kapan hujan berhenti.

Percayalah, semua ini akan berlalu, maka mengapa harus memikirkan sesuatu yang tak ada, namun suatu saat pasti akan hadir jua? Sedang hal itu hanya akan membuat kita kehilangan keindahan hari ini karena mencemaskan sesuatu yang belum pasti.

Saat engkau memiliki sebuah pekerjaan dan mendapatkan penghasilan, meski tak sesuai dengan yang kau inginkan, mengapa mesti kesal dan membayangkan pekerjaan ideal yang jauh dari jangkauan? Padahal kalau saja kau nikmati apa yang kau miliki, tentu akan lebih mudah menjalani. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat kau dapatkan apa yang kau inginkan, ternyata tak seindah yang kau bayangkan. Maka nikmatilah, karena bisa jadi saat sudah kau lepaskan, kau akan menyesal, ternyata begitu banyak kebaikan yang tidak kau lihat sebelumnya. Ternyata begitu banyak keindahan yang terlewat tak kau nikmati.

Maka nikmatilah, dan jangan habiskan waktumu dengan mengeluh dan menginginkan yang tidak ada. Maka nikmatilah, karena suatu saat, semua ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, jangan sampai kau kehilangan nikmatnya dan hanya mendapatkan getirnya saja. Maka nikmatilah dengan bersyukur dan memanfaatkan apa yang kau miliki dengan lebih baik lagi agar besok menjadi sesuatu yang berguna. Maka nikmatilah karena ia akan menjadi milikmu apa adanya dan hanya saat ini saja. Sedang besok bisa jadi semua telah berganti.

Jika hari ini engkau menderita, maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu, jangan biarkan dia pergi, kemudian ketika kau harus lebih menderita suatu saat nanti, engkau tidak sanggup menahannya. Maka nikmatilah rasa sedihmu, dengan mengenang kesedihan yang lebih dalam yang pernah kau alami. Dengan membayangkan kesedihan yang lebih memar pada hari akhir nanti jika kau tak dapat melewati kesedihan kali ini, dengan menemukan penghapus dosa pada musibah yang kau alami kini.

Maka nikmatilah rasa galaumu, dengan betafakkur lebih banyak atas permasalahan yang kau hadapi. Dengan memikirkan kedewasaan yang kan kau gapai atas resah dan galau itu. Dengan kematangan yang akan kau miliki setelah berhasil melewati semua ini. Maka nikmatilah rasa marahmu, dengan kemampuan mengendalikan diri. Dengan memikirkan penggugur dosa yang kan kau dapatkan. Dengan mendapatkan kemenangan atas diri pribadi yang tak semua orang dapat lakukan.

Maka nikmatilah, dengan berpikir positif atas apa pun yang kau jalani, atas apapun yang kau hadapai, atas apapun yang kau terima, karena dengan begitu engkau akan bahagia. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu jua. Maka nikmatilah, karena rasa puas dan syukur atas apa yang telah kita raih akan menghadirkan ketenteraman dan kebahagiaan. Sedang ketidakpuasan hanya akan melahirkan penderitaan. Maka nikmatilah, karena ini pun akan berlalu. Maka nikmatilah, agar engkau tidak kehilangan hikmah dan keindahannya, saat segalanya telah tiada. Maka nikmatilah, agar tak hanya derita yang tersisa saat semua telah berakhir jua

Elegi Sepotong Jiwa

Malam makin dingin. Menggigil. Angina berkesiur rendah, merinaikan riak-riak hati. Kau tahu, Ry, di lelembah hati paling curam, aku masih memendam sejumput harap. Ah, tidak. Tidak. Harapan tiu masih terlampau jauh. Jauh dari alunan mimpi indah. Derai angin yang sejuk terlampau rentan untuk keurasakan. Kau tahu, apa yang membuatku meringis, Ry?

Jangan. Jangan kau tanyaka tentang itu, Ry. Bukan karena kau selalu bergelut dengan kebisuan, bukan karena kau yang terlalu jujur. Bukan. Bukan karena itu, ry. Tapi karena aku tak yakin kau mampu membendung air matamu. Karena aku tak yakin semilir akan mampu berbisik pada helai dedaunan. Karena aku tahu hati tak pernah mati, dan angin takkan pernah berhenti. Dalam keheningan yang sengaja ku cipta, adakah yang patut dihargai dari sebait air mata?

Ry, pada saatnya nanti kau pun akan tahu apa yang tak pernah ku pugnkiri dalam hidupku, apa yang tak pernah kuluakan dalam mimpiku, apa yang paling kusesali dalam perjalananku. Mencintaninya, Ry. Ya, mencintainya. Mencintainya adalah keindahan sekaligud teramat menyakitkan. Sesuatu yang paradoks, bukan? Dan aku harus sesalkan mimpiku, sesalkan diriku. Sesuatu yang teramat gila, bukan?

Betapa dungunya aku. Ketika orang yang kusayangi mengharapkanku, kau tahu, apa yang kemudian kulakukan? Menghindarinya, Ry. Ya, aku menjauhinya. Aku berusaha membencinya. Sesuatu yang amat menyakitkan, bukan? Itulah kelak yang akan selalu membebaniku. Itulah yang paling tidak dapat kumaafkan dalam hidupku, meski untuk diriku sendiri. Itulah yang paling mustahil untuk kulupakan, meski dalam mimpi sekalipun.

Tapi semua itu kulakukan demi harapan sepotong nurani, Ry. Demi senuah jiwa yang telah lama terpaut. Demi sebait keakraban yang telah lama terjalin. Ya, demi alas an yang sangat klasik; sebuah persahabatan. Sesuatu yang sangat mustail untuk kulakukan ; mencipta keretakan, sementara aku menari dalam derail keindahan. Tidak, Ry, tidak! Aku tak kuasa melakukan semua itu. Biarlah aku memilih menjadi pecundang dalam kemunafikan daripada harus mengorbankan kebersamaan.

Yah…, akulah yang harus merelakan segalanya. Dan lagi-lagi, akulah yang harus menangis dalam luka. Karena aku yakin, apa yang telah Tuhan tulis dalam hidupku, barangkali itulah yang terbaik, meski bukan untukku, tapi untuk mereka. Ya, merekalah yang harus bahagia, bukan aku. Hanya yang membuatku kecewa, kenapa harus ada cinta yang tercipta jika semuanya hanya luka sia-sia. Ry, hanya satu yang kupinta darimu. Aku hanya ingin kau berdoa untukku, Ry. Doakan, agar aku mampu memaafkan diriku. Memaafkan kebisuan jiwaku ….


life is agift

Life is a Gift. Hidup itu hadiah....
Maka setiap awal membuka mata, bersyukur adalah hal pertama yang harus dilakukan, atas kehidupan yang masih memberi kesempatan, atas keberadaan senyum semangat dari orang-orang yang menyayanngi dan kita sayangi, serta atas keyakinan bahwa hari akan menjadi hari yang menakjubkan...

--Have a great day--

"Maka nikmat apakah yang hendak kau dustai?" Begitu Tuhan selalu mengingatkan kita tentang makna hidup. Tentang proses pencarian kejatidirian yang sebenarnya. Makna yang kadang kerap kita lupakan, membuat kita terbuai dengan egoisme yang sesak. Bagitu banyak hal yang belum kita syukuri, tapi kita telah terlanjur mencercanya. Begitu banyak hal yang terlanjur kita dustai, padahal kita benar-benar membutuhkannya.

Life is a Gift. Hidup itu hadiah, begitu isi massage sobatku dari Palu. Maka sejenak kemudian saya berfikir. Saya terhenyak, merenungi setiap jengkal kalimat yang mengalir bagai dipenuhi daya magis. Ternyata begitu banyak "sesutu" yang saya lewatkan.

hari ini sebelum engkau berfikir untuk mengucapkan kta-kata kasar, ingatlah akan seseorang yang tidak bisa bicara....

sebelum engkau mengeluh mengenai citarasa makananmu, ingatlah akan seseorang yang tidak punya sesuatu untuk dimakan....

hari ini sebelum engkau mengeluh tentang hidupmu, nestapa kegelisahanmu, ingatlah akan seseorang yang begitu mengharapkan begitu cepat meninggalkan dunia....

sebelum engkau mengeluh tentang begitu berat dan capeknya akan pekerjaanmu, ingatlah akan para pengangguran, orang cacat, dan mereka yang menginginkan pekerjaanmu.....

sebelum engkau menuding atau menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa......dan kita berharap pengadilan dari Tuhan....

dan ketika beban hidup tampaknya akan menjatuhkanmu, pasanglah senyuman di wajahmu dan berterimakasihlah kepada Tuhan karena engkau masih hidup dan ada di dunia ini....

life is a Gift....
maka jalanilah, nikmatilah, rayakan, dan isilah....



Kau Balut Luka dengan Keheningan Doa

Sebelum kau benar-benar pergi, meninggalkan rubaiat sunyi yang kau cipta bersama mimpi, berhentilah sejenak. Ya, hanya sejenak. Semacam jeda yang telah memberimu dahaga fatamorgana. Katamu, hidup ini lelah. Dan kegelisahan paling renta adalah kekalutan rasa yang tiba-tiba muncrat, melumuri jengkal demi jengkal perjalanan rindumu yang menggelora.

Maka marilah kita reguh makna secangkir kopi hangat di Cafe ini, sembari menikmati sisa-sisa mimpi di rentetan hari-hari yang membelenggu nurani. Meski hanya sekedar dongeng usang yang kau hayati, percayalah, kita telah memulainya dari hati sendiri, di tempat paling sunyi ini.

Tak seorang yang benar-benar mengerti akan pemahamannya sendiri, termasuk juga dirimu. Maka sebesar apapun kau membenci orang yang seharusnya paling kau cintai, penyesalan sia-siamu akan segera menanti. Hanyalah rerintik sunyi yang akan menusuk-nusuk jantungmu setajam belati.

Hampir setiap berkata, kau selalu mengawalinya dengan "percaya nggak?". Seolah kau tidak pernah benar-benar percaya pada kata-katamu, pun juga kehidupanmu. Padahal, sebelum berkata, sungguh, aku telah paham makna keterasingan yang lama menjeratmu. Kau teralienasi dari ruhmu sendiri. Maka mengapa kau harus masuk pada labirin yang kau ciptakan sendiri. Ini ironi sepotong mimpi...

Pada akhirnya aku tahu, lidahmu nyaris kelu untuk mengungkapkan gemuruh kata-kata. Padahal, sungguh, aku bisa menerka betapa magma laramu terus mendidih dalam dada. Meski tak ada satu kalimat pun yang mampu menyuguhkan kepastian, tapi sungguh, ya lagi-lagi sungguh, kau telah berhasil membalut luka dengan keheningan doa-doa. Tanpa sadar, kau telah mengajariku makna ketabahan; bahwa kehilangan tak semestinya membawa penderitaan.

Malam ini kita telah berusaha melumat matahari. Menyemai mimpi menjadi serpih-serpih sunyi. Mengubur ego dalam liang-liang sepi...